Catatan Akhir Tahun AJI
No : 001/AJI-Adv/ I/2007
Hal : SIARAN PERS - Untuk Disiarkan
Catatan Akhir Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Situasi Kemerdekaan Pers Tahun 2006 di Indonesia
Hentikan Kekerasan Terhadap Jurnalis, Stop Kriminalisasi Terhadap Pers!
Esensi kemerdekaan pers dan kebebasan memperoleh informasi seperti termuat dalam Pasal 28 Amandemen Kedua Konstitusi (UUD) 1945 belum sepenuhnya terwujud. Berbagai hambatan, ancaman, dan kekerasan terhadap pers dan jurnalis terjadi sepanjang 2006, dalam intensitas yang mencemaskan.
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sejak Januari hingga Desember 2006 di Indonesia terjadi 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan pers. Pada periode yang sama, Januari-Desember 2005, AJI mencatat 43 kasus kekerasan. Catatan kekerasan terhadap pers tahun ini menempatkan Indonesia dalam urutan ke 103 dari 168 negara dalam indeks kebebasan pers menurut Reporter Sans Forntiers (RSF), organisasi perlindungan wartawan berbasis di Prancis.
Jakarta tercatat sebagai tempat yang paling tidak aman bagi pers dan jurnalis dengan 16 kasus kekerasan. Tempat berbahaya lainya bagi pers ialah Jawa Timur (7 kasus) dan Jawa Barat (6 kasus). Modus kekerasan terhadap pers bervariasi mulai dari serangan fisik sampai pelecehan profesi jurnalistik. Hingga akhir 2006, AJI mencatat serangan fisik sebagai kasus terbanyak yakni 28, disusul tuntutan hukum terhadap pers sebanyak 7 kasus. (Lihat tabel kekerasan).
Dari segi pelaku kekerasan yang terbanyak ialah massa (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus), dan aparat kepolisian (7 kasus). Catatan pelaku kekerasan terhadap pers ini patut mendapat perhatian karena merupakan pergeseran budaya kekerasan dari negara dan aparatur warisan Orde Baru kepada massa (orang kebanyakan). AJI megecam tindak kekerasan oleh pihak manapun. Juga prihatin karena sebagian pelaku kekerasan adalah aparat pemerintah dan aparat kepolisian, yang seharusnya menjadi contoh terpuji upaya penyelesaian masalah secara beradab.
Hingga awal 2007 masih ada tiga kasus pembunuhan jurnalis yang masih belum terang penyelesaiannya. Yaitu kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), wartawan Harian Bernas, Yogyakarta (16 Agustus 1996), kasus tewasnya Elyudin Telaumbanua, wartawan Harian Berita Sore Medan yang diculik (24 Agustus 2005) dan kasus pembunuhan Herliyanto, wartawan freelance di Probolinggo, Jawa Timur, (29 April 2006). Ketiga kasus pembunuhan jurnalis ini seakan melengkapi kasus-kasus gelap (dark numbers) lainnya, seperti pembunuhan terhadap aktivis Munir, SH, dan kasus pelanggaran HAM lainnya di masa lalu.
Ancaman tak kalah gawat datang dari Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang sekarang sedang digodok oleh DPR dan pemerintah. Dalam R-KUHP yang baru, tercatat 61 pasal krusial yang berpotensi mencederai kebebasan sipil politik, termasuk kebebasan pers. Sekadar perbandingan, dalam KUHP sekarang masih ada 37 pasal krusial yang bisa mengirim jurnalis ke penjara. AJI tidak hentinya mengatakan, jika ada jurnalis melakukan tindak kriminal (pemerasan, penipuan, perampokan, dll), silakan hukum. Tapi jangan memenjarakan jurnalis karena pemberitaan yang ditulisnya.
Sampai sekarang masih ada empat perkara pemidanaan terhadap pemberitaan pers yang masih dalam proses pengadilan. Yaitu kasus Supratman (Redaktuf Eksekutif Harian Rakyat Merdeka) dalam kasus penghinaan terhadap Presiden, Risang Bima Wijaya (Pemimpin Redaksi Radar Yogya) dalam kasus pencemaran nama baik, Teguh Santosa (Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online) dalam kasus penodaaan terhadap agama, dan Karim Paputungan (Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka), dalam kasus pencemaran nama baik. Dalam era demokrasi, kriminalisasi atau pemidanaan terhadap pemberitaan pers sudah seharusnya dihilangkan.
AJI juga mencatat ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih tertunda penyelesaiannya di DPR yaitu RUU Perlindungan Saksi dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). AJI berpendapat, kedua RUU ini akan mempercepat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.
Secara khusus, AJI mencatat beberapa kasus menonjol pada 2006, seperti pembunuhan jurnalis, pengadilan terhadap pers, dan upaya pemecatan jurnalis secara sewenang-wenang oleh perusahaan media. AJI menyesalkan pemecatan yang disertai penganiayaan (oleh satpam media itu) dilakukan oleh sebuah media nasional yang selama ini dikenal selalu menyuarakan hati nurani, semangat anti kekerasan, dan demokrasi.
Melalui surat ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan hal-hal sebagai berikut :
Menuntut Pemerintah Indonesia dan segenap aparatur negara agar menjamin keselamatan jurnalis dan menjamin kemerdekaan pers
Mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia agar segera tuntas kasus pembunuhan jurnalis dan kasus kekerasan lainnya, serta membawa pelakunya ke pengadilan.
Meminta Pemerintah Indonesia dan DPR agar menjalankan komitmennya bagi demokrasi dan penegakan hukum dengan tidak membuat produk-produk hukum yang bertentangan dengan semangat demokrasi, penegakan HAM, dan kebebasan sipil politik.
Mendesak perusahaan media di Indonesia untuk memenuhi hak-hak dasar karyawan pers, menghormati kebebasan berserikat dalam perusahaan, dan menghindari kekerasan dalam penyelesaian masalah.
Mengimbau semua pihak dan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers agar menempuh mekanisme "Hak Jawab yang telah disediakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan menjadikan Dewan Pers sebagai "pengadilan untuk media".
Jakarta, 3 Januari 2007
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
Heru Hendratmoko Eko Maryadi
Hal : SIARAN PERS - Untuk Disiarkan
Catatan Akhir Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Situasi Kemerdekaan Pers Tahun 2006 di Indonesia
Hentikan Kekerasan Terhadap Jurnalis, Stop Kriminalisasi Terhadap Pers!
Esensi kemerdekaan pers dan kebebasan memperoleh informasi seperti termuat dalam Pasal 28 Amandemen Kedua Konstitusi (UUD) 1945 belum sepenuhnya terwujud. Berbagai hambatan, ancaman, dan kekerasan terhadap pers dan jurnalis terjadi sepanjang 2006, dalam intensitas yang mencemaskan.
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sejak Januari hingga Desember 2006 di Indonesia terjadi 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan pers. Pada periode yang sama, Januari-Desember 2005, AJI mencatat 43 kasus kekerasan. Catatan kekerasan terhadap pers tahun ini menempatkan Indonesia dalam urutan ke 103 dari 168 negara dalam indeks kebebasan pers menurut Reporter Sans Forntiers (RSF), organisasi perlindungan wartawan berbasis di Prancis.
Jakarta tercatat sebagai tempat yang paling tidak aman bagi pers dan jurnalis dengan 16 kasus kekerasan. Tempat berbahaya lainya bagi pers ialah Jawa Timur (7 kasus) dan Jawa Barat (6 kasus). Modus kekerasan terhadap pers bervariasi mulai dari serangan fisik sampai pelecehan profesi jurnalistik. Hingga akhir 2006, AJI mencatat serangan fisik sebagai kasus terbanyak yakni 28, disusul tuntutan hukum terhadap pers sebanyak 7 kasus. (Lihat tabel kekerasan).
Dari segi pelaku kekerasan yang terbanyak ialah massa (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus), dan aparat kepolisian (7 kasus). Catatan pelaku kekerasan terhadap pers ini patut mendapat perhatian karena merupakan pergeseran budaya kekerasan dari negara dan aparatur warisan Orde Baru kepada massa (orang kebanyakan). AJI megecam tindak kekerasan oleh pihak manapun. Juga prihatin karena sebagian pelaku kekerasan adalah aparat pemerintah dan aparat kepolisian, yang seharusnya menjadi contoh terpuji upaya penyelesaian masalah secara beradab.
Hingga awal 2007 masih ada tiga kasus pembunuhan jurnalis yang masih belum terang penyelesaiannya. Yaitu kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), wartawan Harian Bernas, Yogyakarta (16 Agustus 1996), kasus tewasnya Elyudin Telaumbanua, wartawan Harian Berita Sore Medan yang diculik (24 Agustus 2005) dan kasus pembunuhan Herliyanto, wartawan freelance di Probolinggo, Jawa Timur, (29 April 2006). Ketiga kasus pembunuhan jurnalis ini seakan melengkapi kasus-kasus gelap (dark numbers) lainnya, seperti pembunuhan terhadap aktivis Munir, SH, dan kasus pelanggaran HAM lainnya di masa lalu.
Ancaman tak kalah gawat datang dari Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang sekarang sedang digodok oleh DPR dan pemerintah. Dalam R-KUHP yang baru, tercatat 61 pasal krusial yang berpotensi mencederai kebebasan sipil politik, termasuk kebebasan pers. Sekadar perbandingan, dalam KUHP sekarang masih ada 37 pasal krusial yang bisa mengirim jurnalis ke penjara. AJI tidak hentinya mengatakan, jika ada jurnalis melakukan tindak kriminal (pemerasan, penipuan, perampokan, dll), silakan hukum. Tapi jangan memenjarakan jurnalis karena pemberitaan yang ditulisnya.
Sampai sekarang masih ada empat perkara pemidanaan terhadap pemberitaan pers yang masih dalam proses pengadilan. Yaitu kasus Supratman (Redaktuf Eksekutif Harian Rakyat Merdeka) dalam kasus penghinaan terhadap Presiden, Risang Bima Wijaya (Pemimpin Redaksi Radar Yogya) dalam kasus pencemaran nama baik, Teguh Santosa (Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online) dalam kasus penodaaan terhadap agama, dan Karim Paputungan (Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka), dalam kasus pencemaran nama baik. Dalam era demokrasi, kriminalisasi atau pemidanaan terhadap pemberitaan pers sudah seharusnya dihilangkan.
AJI juga mencatat ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih tertunda penyelesaiannya di DPR yaitu RUU Perlindungan Saksi dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). AJI berpendapat, kedua RUU ini akan mempercepat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.
Secara khusus, AJI mencatat beberapa kasus menonjol pada 2006, seperti pembunuhan jurnalis, pengadilan terhadap pers, dan upaya pemecatan jurnalis secara sewenang-wenang oleh perusahaan media. AJI menyesalkan pemecatan yang disertai penganiayaan (oleh satpam media itu) dilakukan oleh sebuah media nasional yang selama ini dikenal selalu menyuarakan hati nurani, semangat anti kekerasan, dan demokrasi.
Melalui surat ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan hal-hal sebagai berikut :
Menuntut Pemerintah Indonesia dan segenap aparatur negara agar menjamin keselamatan jurnalis dan menjamin kemerdekaan pers
Mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia agar segera tuntas kasus pembunuhan jurnalis dan kasus kekerasan lainnya, serta membawa pelakunya ke pengadilan.
Meminta Pemerintah Indonesia dan DPR agar menjalankan komitmennya bagi demokrasi dan penegakan hukum dengan tidak membuat produk-produk hukum yang bertentangan dengan semangat demokrasi, penegakan HAM, dan kebebasan sipil politik.
Mendesak perusahaan media di Indonesia untuk memenuhi hak-hak dasar karyawan pers, menghormati kebebasan berserikat dalam perusahaan, dan menghindari kekerasan dalam penyelesaian masalah.
Mengimbau semua pihak dan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers agar menempuh mekanisme "Hak Jawab yang telah disediakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan menjadikan Dewan Pers sebagai "pengadilan untuk media".
Jakarta, 3 Januari 2007
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
Heru Hendratmoko Eko Maryadi
0 comments:
Post a Comment