Pernyataan Akhir Tahun 2007 AJI
Bebaskan Pers Indonesia dari Ancaman Kekerasan dan Pemidanaan!
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menutup tahun 2007 dengan keprihatinan mendalam terhadap situasi kebebasan pers di tanah air. Ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di berbagai wilayah, bersamaan dengan kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap jurnalis oleh aparat pemerintah maupun warga masyarakat.
Pada satu sisi, AJI bersyukur karena publik semakin menyadari hak-hak informasinya. Kritik terhadap kesalahan pemberitaan pers berjalan seiring dengan tuntutan publik akan pers yang profesional dan mengedepankan etika jurnalistik. Masyarakat sudah mampu membedakan mana pers yang profesional-beretika dengan pers yang ngawur dan mengabaikan etika. Pada bagian ini, sudah sepatutnya komunitas pers, termasuk organisasi media dan organisasi jurnalis di manapun, berbenah diri dengan meningkatkan standar kompetensi jurnalistiknya, termasuk dengan memenuhi kesejahteraan para pekerjanya secara memadai.
Pada sisi lain, sikap kritis publik dan pemerintah terhadap pers yang berlebihan berpotensi mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kebebasan pers dan hak publik atas informasi, seperti dijamin Konstitusi. Ancaman terhadap pers bukan lagi berbentuk bredel atau sensor seperti pada zaman Soeharto, melainkan ancaman pemidanaan dan pemenjaraan terhadap pekerja media. Jika dibiarkan, ancaman kriminalisasi pers ini akan menjadi momok baru yang membuat para jurnalis tidak bisa lagi menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai amanat Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
AJI juga mencatat adanya upaya pembelokan isu sistematis yang menyerang integritas wartawan Majalah Tempo Metta Dharmasaputra karena yang bersangkutan berhasil membongkar manipulasi pajak PT Asian Agri lewat liputan investigasinya. Penyebarluasan print-out pesan pendek (sms) yang seharusnya berklasifikasi rahasia, merupakan sebentuk ancaman atas pekerjaan profesional seorang jurnalis sekaligus merupakan pelanggaran langsung atas Undang-Undang Telekomunikasi.Sayangnya, kepolisian yang merupakan pihak pertama pemohon salinan sms kepada PT Telkom sama sekali tidak berbuat apa-apa atas pelanggaran undang-undang tersebut.
Peta Kekerasan Pers 2007
Pada satu sisi, AJI bersyukur karena publik semakin menyadari hak-hak informasinya. Kritik terhadap kesalahan pemberitaan pers berjalan seiring dengan tuntutan publik akan pers yang profesional dan mengedepankan etika jurnalistik. Masyarakat sudah mampu membedakan mana pers yang profesional-beretika dengan pers yang ngawur dan mengabaikan etika. Pada bagian ini, sudah sepatutnya komunitas pers, termasuk organisasi media dan organisasi jurnalis di manapun, berbenah diri dengan meningkatkan standar kompetensi jurnalistiknya, termasuk dengan memenuhi kesejahteraan para pekerjanya secara memadai.
Pada sisi lain, sikap kritis publik dan pemerintah terhadap pers yang berlebihan berpotensi mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kebebasan pers dan hak publik atas informasi, seperti dijamin Konstitusi. Ancaman terhadap pers bukan lagi berbentuk bredel atau sensor seperti pada zaman Soeharto, melainkan ancaman pemidanaan dan pemenjaraan terhadap pekerja media. Jika dibiarkan, ancaman kriminalisasi pers ini akan menjadi momok baru yang membuat para jurnalis tidak bisa lagi menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai amanat Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
AJI juga mencatat adanya upaya pembelokan isu sistematis yang menyerang integritas wartawan Majalah Tempo Metta Dharmasaputra karena yang bersangkutan berhasil membongkar manipulasi pajak PT Asian Agri lewat liputan investigasinya. Penyebarluasan print-out pesan pendek (sms) yang seharusnya berklasifikasi rahasia, merupakan sebentuk ancaman atas pekerjaan profesional seorang jurnalis sekaligus merupakan pelanggaran langsung atas Undang-Undang Telekomunikasi.Sayangnya, kepolisian yang merupakan pihak pertama pemohon salinan sms kepada PT Telkom sama sekali tidak berbuat apa-apa atas pelanggaran undang-undang tersebut.
Peta Kekerasan Pers 2007
Sepanjang Januari - Desember 2007, AJI mencatat 75 kasus kekerasan terhadap pers di seluruh Indonesia. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya (2006), yakni 53 kasus. AJI juga mencatat propinsi/kota yang paling berbahaya bagi jurnalis (2007) adalah Jakarta (17 kasus), Jawa Timur (14 kasus), Jawa Barat (10 kasus), disusul Propinsi Aceh (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) 8 kasus kekerasan. Pada 2006, di Jakarta tercatat
ada 16 kasus kekerasan, Jawa Timur 7 kasus, dan Jawa Barat 6 kasus.
Khusus masalah kriminalisasi terhadap pers, AJI mengecam sikap sejumlah aparat penegak hukum, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, yang melakukan penyidikan kasus pers tanpa melibatkan Dewan Pers (DP) sebagai pengadilan etik jurnalistik tertinggi dalam komunitas pers.
AJI juga menyesalkan sikap aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang menerapkan “pasal-pasal karet delik pers” dari Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun KUH Perdata dalam menangani sengketa pemberitaan pers. Padahal, sesuai amanat Undang Undang Pers, setiap keberatan terhadap pemberitaan pers tersedia mekanisme hak jawab, hak koreksi, mediasi oleh Dewan Pers, pengadilan etik oleh organisasi jurnalis, sebelum akhirnya sampai ke wilayah hukum.
Pada 2007, AJI mencatat ada sejumlah kasus kriminalisasi pers yang menarik perhatian publik serta dunia internasional. Antara lain; pengadilan atas kolumnis Koran Tempo, Bersihar Lubis, yang kini diadili di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat; pengadilan Pemimpin Tabloid Investigasi Eddy Sumarsono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; pemenjaraan mantan Pemimpin Umum Radar Jogja Risang Bima Wijaya, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Oposisi, Medan, Dahri Uhum Nasution. Para jurnalis itu umumnya dihadapkan pada pasal “pencemaran nama baik” dan “kejahatan menyerang kehormatan”,
yang secara zaman sudah tidak layak digunakan karena merupakan aturan hukum peninggalan kolonial Belanda.
Secara internasional, sebenarnya Indonesia sudah masuk ke dalam negara “demokrasi penuh” dengan keberhasilan menyelenggarakan Pemilihan Umum secara langsung, aman dan transparan. Tapi situasi ini tidak didukung dengan iklim kebebasan pers yang masih menempatkan Indonesia sebagai negara “separuh demokratis” dengan indeks kebebasan pers yang masih buruk karena banyaknya kasus kekerasan serta pemidanaan terhadap pers (Sumber: Freedom House 2007 dan Reporters Sans Frontieres 2007). Sebagai anggota Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) yang bermarkas di Brussel, Belgia, dan pendiri Aliansi Pers Asia Tenggara (SEAPA) yang berbasis di Bangkok, AJI akan terus menjaga iklim kebebasan pers yang lebih baik dan berusaha menjamin adanya hak publik atas informasi tetap dipenuhi sesuai amanat reformasi dan Konstitusi.
Dengan ini AJI menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Mengecam kekerasan terhadap pers dan menolak setiap upaya kriminalisasi terhadap kebebasan menjalankan profesi jurnalistik, kebebasan mengeluarkan pendapat secara tulisan dan lisan, serta meminta segenap aparat pemerintah dan masyarakat agar lebih memahami tugas dan profesi jurnalistik yang sudah dijamin Undang Undang.
2. Menuntut pemerintah Indonesia, c.q Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Kepala Kejaksaan Agung (Kejakgung), serta Ketua Mahkamah Agung (MA), agar menggunakan kewenangannya mengusut berbagai tindakan kekerasan terhadap pekerja pers, menghentikan upaya pemidanaan terhadap jurnalis dan pers sebagai langkah konkret dalam menjaga demokrasi dan menjalankan amanat Konstitusi tentang hak informasi publik.
3. Mengajak segenap komunitas pers, termasuk perusahaan pers, organisasi pers dan jurnalis agar secara sungguh-sungguh meningkatkan standar profesi dan etika jurnalistik, serta memperhatikan standar kesejahteraan pekerja pers. AJI mengingatkan, pers yang profesional dan taat kode etik jurnalistik (KEJ 2006) akan mendapat dukungan publik, sehingga pers bisa menjalankan tugas dan profesinya lebih bebas. AJI juga mengajak segenap kalangan pers untuk melawan segala bentuk teror dan ancaman yang dapat
mencederai kebebasan pers dan profesi jurnalistik.
Jakarta, 28 Desember 2007
Heru Hendratmoko Eko Maryadi
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
0 comments:
Post a Comment