TKW Yok, Mudik Yok...
Tenaga kerja Indonesia yang baru tiba dari Arab Saudi berebut masuk ke dalam bus angkutan khusus TKI di pelataran Lounge TKI, Bandara Soekarno Hatta, Jumat (5/10)
Perempuan itu duduk termenung di Lounge TKI Bandara Soekarno-Hatta. Sesekali ia menengok ke arah Bus Angkutan Khusus TKI. Wajahnya tampak resah. Rupanya, ia menantikan datangnya sopir bus yang akan mengangkut ke Terminal TKI.
Jumat kemarin, hingga pukul 14.00 WIB, tercatat 300 TKW tiba di Tanah Air. Sehari sebelumnya, TKW yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta mencapai 1.362 orang. Begitu tiba, TKW yang mendapat julukan pahlawan devisa ini harus menghadapi kenyataan membosankan dan menyedihkan.
Sari (34), salah seorang TKW yang baru tiba itu, harus menunggu Bus Angkutan Khusus TKI selama hampir tiga jam, sebelum bus itu berjalan ke Terminal TKI. Dari Terminal TKI inilah, mereka baru bisa berangkat menuju kampung halaman untuk bertemu anak dan keluarga dekat lainnya.
Namun, keluhan Sari belum usai. Pasalnya, para TKI tidak bisa keluar dari Terminal TKI itu bila tidak menggunakan bus agen perjalanan yang disediakan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) untuk pulang sampai ke daerah asal masing-masing.
Seraya menggerutu, ia terpaksa merogoh dompet dan uang sebesar Rp 390.000 dikeluarkan untuk membayar angkutan yang akan mengantarkannya ke Cilacap. "Bayar lagi, bayar lagi, mahal lagi. Kalau jalan sendiri, kan, bisa jauh lebih murah," ujarnya.
Di papan pengumuman—di depan loket tiket perjalanan yang terletak di belakang loket pendataan TKI—terdapat daftar harga tiket. Di antaranya, untuk tujuan Jakarta Rp 125.000, Tangerang Rp 120.000, Yogyakarta Rp 430.000, Tegal Rp 370.000, Cilacap Rp 390.000, Surabaya Rp 465.000, Cianjur Rp 370.000, Depok-Bogor Rp 140.000, dan Palembang Rp 435.000.
Made, Koordinator Grup A BNP2TKI, mengatakan, harga itu tidak memberatkan TKI. "Daripada mereka ditarik-tarik calo," ujarnya.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Rustam Effendi, mengatakan, tugas BNP2TKI adalah melakukan penempatan dan perlindungan TKI. Seharusnya tidak ada lagi biaya untuk mengantar TKI ke tempat tujuannya. "TKI itu, waktu berangkat sudah dipungut Rp 400.000,-. Jadi, mereka tidak boleh dipungut lagi ketika pulang," ujarnya.
Rustam merasa gusar dengan adanya pungutan yang masih terus berlangsung terhadap TKI. "Besok, (hari ini-Red) saya bersama dua atau tiga orang lainnya akan sidak," ujarnya.
Lebaran di Kampung
Setelah dua kali minta izin untuk mudik, akhirnya Sari diberikan waktu berlebaran di kampung. Majikannya memberikan bonus tiga kali gaji bulanan untuk dibawa pulang. Tiket pulang-pergi Jakarta-Singapura pun sudah dibelikan majikannya.
Bahkan, sejak tiga hari lalu, Sari sudah mengirim uang sebesar 2.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 11.900.000,- untuk keluarganya. Rencananya, uang itu akan digunakannya untuk memperbaiki rumah di Cilacap.
Berbeda dengan Sari yang terbilang sukses mengadu nasib di negeri orang, nasib yang dialami Rani (24) buruk. Setelah bekerja selama dua tahun di Jeddah, Arab Saudi, ia terpaksa pulang dengan tangan hampa dan tidak diperpanjang kontrak kerjanya.
"Majikan saya mengada-ada, bilangnya kecewa dengan hasil kerja saya. Padahal saya sudah mengabdi selama dua tahun," ujarnya sambil berkaca-kaca.
Perempuan asal Kebumen ini mengeluhkan sistem penggajian yang diterapkan di tempatnya bekerja. "Selama ini uangnya selalu ditahan mereka. Katanya, kalau mau pulang baru diberikan. Tetapi bila mereka tidak puas dengan kerja kita, ya uangnya diambil, katanya untuk bayar jaminan ke agennya," ujar Rani yang mengaku hanya dibekali 100 dollar Amerika untuk mudik ke Indonesia.
Meski mendapat perlakuan yang tidak menguntungkan Rani mengaku tidak akan berhenti mengadu nasib di negeri orang. "Mungkin yang sekarang enggak beruntung, tapi mungkin di tempat lain bisa lebih baik nasibnya," ujarnya penuh harap.
Mudik Selagi Sempat
Atun (34), Wati (29), Diah (21), Lisna (21), Ruli (21), dan Valent (26) adalah calon TKW yang akan diberangkatkan ke Taiwan. Mereka ditemui sedang menunggu kereta api di Stasiun Jatinegara.
Selama dua bulan terakhir, mereka tinggal di tempat penampungan dan pelatihan milik sebuah PJTKI di Serpong, Tangerang. Mereka berkesempatan mudik karena belum ada jadwal keberangkatan mereka ke Taiwan. "Senang bisa keluar dan pulang, biasanya sehari-hari di kamar," ujar Atun, calon TKW asal Purworejo yang sudah punya dua anak.
Mereka merasa beruntung daripada rekan-rekan mereka yang tak bisa mudik. "Berat ninggal teman-teman, ada yang nangis karena nggak punya uang buat mudik," ungkap Lisna.
Keenam calon TKW itu pun mengaku uang yang mereka gunakan untuk mudik berasal dari sisa kiriman orang tua. "Habis dari mana, di penampungan kan kita nggak digaji," tutur Atun.
Perempuan bertubuh subur itu menuturkan, kehidupan di penampungan tidak selalu buruk seperti yang selama ini diberitakan. "Senang bisa kenal banyak orang dan sifatnya," terang Atun.
Namun, diakuinya aturan dan kedisiplinan di penampungan harus ditaati. Jika tidak, mereka akan dikeluarkan.
Di tempat penampungan, mereka tidak diperbolehkan berteriak dan tertawa keras-keras. "Kalau kedengaran suster bisa disiram air, ya tsunami deh," ujar Valent.
Sejak pukul 08.00 - 15.00, mereka harus belajar bahasa Mandarin. Selanjutnya, belajar keperawatan dan pekerjaan rumah tangga hingga pukul 17.00. Mereka yang sudah mahir berbicara Mandarin akan ditawarkan kepada agen di Taiwan. Terkadang, agen Taiwan datang langsung ke PJTKI untuk memilih TKW yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkannya.
Atun, misalnya, sudah dua kali ditawari pekerjaan. Tawaran yang pertama didapatnya tanggal 25 September, untuk merawat perempuan lumpuh. Tetapi tawaran itu dibatalkan. Tanggal satu Oktober lalu, ditawari lagi untuk merawat seorang kakek.
Namun, hingga sekarang belum ada kepastian dari agen Taiwan mengenai tawaran kerja tersebut. "Ya sabar dulu, mungkin ada tawaran lagi yang cocok buat saya," tutur Atun.
Sekarang yang penting mudik dulu. Meski, kisah sedih TKW ketika pulang ke tanah air sering didengar, namun hal itu tak menyurutkan niat kerja di negeri orang.
Penulis: Kompas/(A15/A14)
0 comments:
Post a Comment