peMuDiK
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta boleh saja membatasi atau melarang pendatang baru masuk ke Jakarta. Operasi kependudukan pun dilakukan. Akan tetapi, sedikit demi sedikit rombongan pemudik mulai mengalir ke Jakarta. Sebagian pemudik juga membawa rekan-rekan mereka ke Jakarta.
Tujuan pendatang baru itu cuma satu, yaitu mencari penghidupan yang lebih layak di Jakarta. Kampung halaman mereka dirasa tidak lagi menjanjikan dan mampu memberikan lapangan kerja. Kehadiran pendatang baru itu dapat diamati di stasiun, terminal, pelabuhan, atau bandara, misalnya, di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur.
Tujuan pendatang baru itu cuma satu, yaitu mencari penghidupan yang lebih layak di Jakarta. Kampung halaman mereka dirasa tidak lagi menjanjikan dan mampu memberikan lapangan kerja. Kehadiran pendatang baru itu dapat diamati di stasiun, terminal, pelabuhan, atau bandara, misalnya, di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur.
Dua perempuan muda tergopoh-gopoh keluar dari gerbong kereta api kelas ekonomi, sambil menengok kanan-kiri. Mereka berusaha mencari jalan keluar dari kerumunan penumpang yang hilir-mudik. Dengan menenteng tas bawaan, Eka Nurjanah (18) dan Tarisem (16) akhirnya menemukan pintu keluar di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Setelah keluar, mereka menunggu angkutan umum di tepi jalan. "Mikrolet No 44 ke arah Karet, naik dari mana, ya?" tanya Eka kepada tukang ojek yang menawarkan jasa. Eka asal Indramayu baru sembilan bulan tinggal di Jakarta. Eka sempat mudik saat Lebaran tahun lalu dan kembali ke Jakarta dengan membawa seorang rekan, Tarisem. Tarisem adalah sepupu Eka. Tarisem asal Subang, Jawa Barat, baru pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta untuk mencari pekerjaan. "Dia pingin kerja bersama saya," terang Eka. Hari itu mereka menuju Karet, Jakarta Selatan, tempat tinggal Eka selama ini. Eka bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan masakan hasil laut di Karet.
Tepat di jalan layang Karet, Mikrolet 44 yang mereka tumpangi berhenti. Mereka memasuki gang dan harus berjalan lebih kurang 300 meter untuk bisa sampai di tempat tinggal Eka. Di depan rumah bercat kuning dengan pintu gerbang dari seng, mereka berhenti dan naik ke lantai dua. "Ini mes saya," kata Eka, sambil membukakan pintu. Mes itu merupakan tempat yang disediakan pemilik rumah makan untuk pekerja.
Tarisem terpaksa mencari pekerjaan di Jakarta karena ia tidak memiliki pekerjaan di kampung. Ia juga ingin membiayai ibunya yang sedang sakit. "Pingin ngobatin ibu," tutur Tarisem yang hanya tamat SMP menerangkan alasan kepergiannya ke Jakarta. Setahun terakhir, ibunya sakit jantung dan memerlukan biaya pengobatan. Penghasilan ayahnya sebagai petani tak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari dan perawatan ibunya. "Sekarang lagi panen, tapi duit habis untuk bayar utang," ungkap Tarisem.
Ia pun memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta dengan biaya Rp 100.000. Tarisem mengaku tak peduli berapa pun gaji yang diperolehnya. "Daripada nganggur, sambil cari pengalaman," terangnya. Tinggal di desa, menurut Tarisem, percuma dan membuang waktu. Alasannya, di desa, tidak banyak lapangan kerja yang tersedia. Bertani pun tak bisa dilakukannya.
Pendatang baru di Jakarta tidak hanya dapat ditemukan di stasiun. Di terminal bus, seperti Kampung Rambutan, juga dapat ditemukan pendatang baru.
Di Terminal Kampung Rambutan, tiga perempuan muda duduk termangu di ruang tunggu penumpang. Mereka adalah Melis (19), Siti Saripah (18), dan Susilawati (17). Mereka berasal dari Desa Cilangari, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sisa kelelahan sehabis perjalanan panjang masih terlihat di wajah mereka.
Ipah, panggilan akrab Siti Saripah, tamatan SMP, menuturkan ingin ke Jakarta karena di desanya tak ada yang bisa dikerjakan. "Di desa nganggur, enggak ada kerjaan," katanya. Di desanya, pekerjaan sehari-hari Ipah adalah mengurus rumah. Suaminya bekerja sebagai buruh tani dengan bayaran Rp 10.000 per hari. Dengan alasan penghasilan suami yang kecil itu, Ipah pun bertekad mencari penghasilan lain di Jakarta. Dengan ditemani seorang tetangga, Dahlan (50), mereka berangkat ke Jakarta. Di Jakarta, Dahlan akan mengantar ketiganya hingga bertemu dengan orang yang membutuhkan tenaga pembantu rumah tangga (PRT) atau penyalur PRT. Ipah, Melis, dan Susi juga tak mengetahui berapa jumlah gaji mereka.
Para pendatang umumnya ingin merantau karena tidak bisa berharap banyak pada kehidupan di desa. Sementara itu, di kota pun, mereka kerap tidak mengetahui pekerjaan apa yang akan dijumpai. Seorang pendatang baru, Sukinah (35), asal Banjarnegara, Jawa Tengah, ingin ke Jakarta karena bosan. Saya bosan kerja di kampung, capek. Tiap hari nyangkul. Saya ingin cari pekerjaan lain," ucapnya lirih. Mulut Sukinah bergetar tiap kali berkata. Raut mukanya terlihat seperti orang bingung. Sehari setelah Lebaran, ia tiba di Jakarta untuk pertama kali. Ia dibawa kenalannya, Tini, yang berada di Semarang. Pada awalnya, Sukinah dijanjikan bekerja di Semarang, tetapi Tini membawanya ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, Tini menitipkan Sukinah ke Yayasan Sari Bakti Mandiri, agen penyalur PRT di kawasan Bungur, Jakarta Pusat. "Sudah kepalang tanggung, saya mau kerja di sini (Jakarta) saja," kata Sukinah.
Selamat datang di Jakarta!
Sumber : Kompas
0 comments:
Post a Comment