SEARCH PKS post

8/13/2007

Mereka Merana di Kolong Jalan Tol

Sekitar 700-800 orang korban kebakaran di kolong jalan tol Jembatan Tiga, Jakarta Utara, Minggu (12/8), atau lima hari pascakebakaran, tampak merana. Bantuan makanan dan pakaian masih terbatas. Sebagian kecil warga ditampung di empat tenda kecil dan gubuk warga lain yang luput dari kebakaran 7 Agustus lalu dan sebagian besar tidur tergeletak di bekas puing kebakaran.
Pihak operator jalan tol, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), memasang pagar kawat berduri di sebagian lokasi. Papan bertuliskan kata-kata peringatan "dilarang keras mendirikan bangunan di lokasi bekas kebakaran, kondisi struktur berbahaya, sedang dalam penelitian Puslitbang PU" terpampang di 20 lokasi.

Meski garis polisi masih terpasang, puluhan warga tetap duduk dan tidur di bagian dalam garis itu, yakni di puing bekas rumah dan gubuk mereka. Keluarga Nyonya Suwardi (50), misalnya, bertahan di kolong jalan tol tepat di sisi tembok rumahnya yang telah terbakar. "Mau ke mana lagi? Tempatnya hanya di sini," katanya.
Urban Poor Consortium (UPC) memasang empat tenda ukuran kecil. Meski jumlah korban yang kehilangan tempat tinggal ratusan jiwa, tenda selain yang dibangun UPC itu tidak ada lagi. Kaum pria mengutamakan ibu, anak, dan orang lanjut usia.

Semakin berkurang

"Bantuan makanan, pakaian, dan obat-obatan saat ini semakin berkurang. Hanya pada hari pertama atau saat terjadi kebakaran hingga hari ketiga bantuan cukup banyak, terutama makanan. Sekarang sudah berkurang," kata tokoh penghuni tol dan pembantu koordinator warga, Erwansyah (45).
Warga juga membutuhkan bantuan pakaian, tidak hanya soal makanan. Erwansyah mengatakan, seluruh korban kebakaran hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badan mereka. Jumlah bantuan pakaian layak pakai yang berdatangan belum mencukupi.
Pasangan suami-istri Junaidi Budianto (51) dan Wati (41), yang gubuknya ludes terbakar, menuturkan, tidak hanya soal makanan, tetapi tempat berteduh dan pendidikan anak membuatnya gelisah. "Jika kami dilarang menempati kolong tol lagi, terus kami mau ke mana?" kata Wati yang sehari-hari membuka warung nasi.
Suami-istri itu kebingungan menyekolahkan anak satu-satunya, Suryani Indrati (12), siswi Kelas I SMP Negeri 32 Pejagalan, Jakarta Utara. "Seluruh pakaian seragam, alat tulis, buku pelajaran, dan perlengkapan sekolah lainnya juga ludes. Mau buka warung nasi lagi tidak mungkin karena kios terbakar dan modal habis," katanya.
Persoalan serupa dialami Jaetun (30). Seluruh baju seragam, buku tulis, dan buku pelajaran anaknya, Sinta Larasati (12), siswi SMP Negeri 21 Penjaringan, Jakarta Utara, terbakar. "Tidak hanya itu, akta nikah saya juga telah menjadi abu," katanya sambil berlinangan air mata.

Ingin pindah

Korban mendiami kolong jalan tol karena tak ada lahan kosong atau lahan terbuka lainnya untuk ditempati. "Kami juga sebenarnya tidak mau tetap di kolong tol ini. Musibah kebakaran menjadi pelajaran berharga karena menyusahkan warga lain. Mau pindah, tetapi saya mau ke mana lagi," kata Sumiati (51).
Suamiati, asal Solo, Jawa Tengah, mengatakan, ada keinginan untuk pulang kampung. Hal serupa diungkap Jaetun, warga asal Tegal, serta Wati yang asal Klaten. "Kami ingin pindah dari sini, tetapi mau ke mana. Mau pulang tidak ada uang, mau buka warung lagi tidak ada modal, terus sekarang tak ada rumah," kata Wati.
Para korban kebakaran di Jembatan Tiga terdiri atas dua kelompok dengan satu koordinator. Sumardi (42), koordinator warga kolong tol Jembatan Tiga yang menjadi korban kebakaran, menyatakan, dari 700-800 korban, sebagian besar adalah pendatang. Mereka siap pindah jika ada tempat tinggal atau ada lahannya.
Wali Kota Jakarta Utara Effendi Anas mengatakan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi problem pascakebakaran di kolong jalan tol itu. Diharapkan akan ada solusi terbaik dan manusiawi untuk mengatasi persoalan itu.
Kini kolong tol Jembatan Tiga menjadi rapuh akibat kebakaran yang menimpa ratusan gubuk liar di bawahnya. Di sisi lain, banyak orang prihatin terhadap kemiskinan yang ditandai menjalarnya gubuk liar di kolong tol sepanjang jalan tol layang Tanjung Priok-Pluit-Angke.
Jika warga menghuni kolong jalan tol atas izin Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah sejak tahun 2003 dan habis tahun 2005, lantas dengan cara bagaimana mereka keluar dari kolong tol? Perlu ada kebijakan serius dari pemerintah, tidak sekadar retorika. Berikan batas waktu tinggal kepada mereka. Namun, sudahkah tersedia rumah atau tempat tinggal yang layak pengganti untuk mereka?

Penulis: Kompas/Pascal S Bin Saju

0 comments:

Copyrights @ 2006 Perkumpulan Karyawan SmartFM - Jakarta, Indonesia
http://crew-smartfm.blogspot.com

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP