Jurnalis Tolak Amplop, Perjuangkan Upah Layak
Press Release
Peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2007:
JURNALIS TOLAK AMPLOP, PERJUANGKAN UPAH LAYAK!
Jurnalis adalah buruh. Itulah kenyataannya. Sayang, hingga kini, nasib jurnalis masih belum secerah yang diharapkan. Upah jurnalis masih jauh dari kata layak. Jika dibandingkan dengan upah jurnalis Malaysia ataupun Thailand, gaji jurnalis Indonesia hanya seperempatnya. Menurut Dewan Pers, saat ini tersebar 829 media cetak, 2.000-an stasiun radio, dan 65 stasiun televisi. Namun, perusahaan media cetak yang berkualitas hanya 249 perusahaan atau 30%, sementara media elektronik yang layak bisnis cuma 10%.
Artinya, begitu mudah pemodal mendirikan perusahaan media, tapi tak memperhitungkan kelayakan kesejahteraan pekerjanya. Pengusaha media kerap berlindung di balik rendahnya tiras, iklan yang minim, dan lain-lain, untuk tidak menaikkan upah dan kesejahteraan pekerjanya. Celakanya pula, di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur tentang kelayakan modal sebuah perusahaan media bisa berdiri, termasuk berapa besar perusahaan media minimal harus mengupah pekerjanya.
Menurut survei AJI Indonesia pada 2005, masih ada media yang menggaji jurnalisnya Rp 200 ribu sebulan. Sebuah angka yang masih sangat jauh dari upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, jelas. Mutu liputan jadi asal-asalan, dan banyak jurnalis yang terjebak di dalam pusaran amplop. Padahal amplop makin mengaburkan jurnalis dari independensi dan objektivitas. AJI memang sejak awal berdiri dengan tegas menolak amplop. Solusinya, apalagi jika bukan upah layak bagi jurnalis.
Menurut survei AJI Jakarta tahun 2006, upah layak minimum jurnalis Jakarta sebesar Rp 3,1 juta. Tentu jumlah tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi inflasioner saat ini. Angka ini bukanlah angka yang muluk. Jurnalis bisa meraihnya dengan cara perjuangan bersama. Solidaritas, berorganisasi, berserikat adalah kuncinya.
Namun, perjuangan jurnalis melalui serikat pekerja, harus diakui, membutuhkan stamina yang panjang. Tak jarang terjadi manajemen menghalangi sikap kritis jurnalisnya. Tindakan anti-serikat masih kental terasa di beberapa media. Padahal hak berserikat dilindungi oleh Undang-Undang 21/2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja.
Contoh telanjang yang bisa kita lihat adalah pemecatan jurnalis Kompas, Bambang Wisudo, Desember silam. Pendepakan Wisudo yang tak lain adalah sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), sangat kental beraroma pemberangusan aktivitas serikat pekerja (union busting). Wisudo dimutasi ke Ambon—sementara Syahnan Rangkuti (ketua PKK) dimutasi ke Padang—setelah beberapa waktu sebelumnya PKK berhasil mendesak manajemen Kompas untuk memberikan deviden saham karyawan sebesar 20%.
Itulah. Nasib jurnalis memang begitu ironis. Jurnalis galak dan garang mengritik pedas setiap kebijakan pemerintah dan penguasa, tapi tak punya posisi tawar di hadapan manajemennya sendiri. Ibarat kata, besar di luar namun kecil di dalam perusahaannya sendiri. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Jurnalis harus bersatu, berbareng bergerak memperjuangkan hak-haknya.
Oleh karenanya dalam peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2007 ini, AJI Jakarta menyerukan kepada seluruh pekerja media (jurnalis, bagian iklan, percetakan, sirkulasi, keuangan, dan lain-lain) untuk bersatu mengorganisasikan diri dalam serikat pekerja. Selain itu, dalam hari kemenangan kaum buruh sedunia ini, AJI Jakarta juga menuntut:
1. Perusahaan media untuk memberikan upah layak bagi jurnalis atau seluruh pekerjanya.
2. Perusahaan media untuk memberikan hak berserikat kepada pekerjanya.
3. Hentikan pemberangusan serikat pekerja di perusahaan media.
Dengan upah yang layak, integritas jurnalis makin terbangun. Mutu media pun makin terasah.
Jurnalis Juga Buruh!
Persatuan bagi Pekerja Media!
Jakarta, 30 Mei 2007
Winuranto Adhi
Koordinator Divisi Serikat Pekerja
Jajang Jamaludin
Ketua AJI Jakarta
Peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2007:
JURNALIS TOLAK AMPLOP, PERJUANGKAN UPAH LAYAK!
Jurnalis adalah buruh. Itulah kenyataannya. Sayang, hingga kini, nasib jurnalis masih belum secerah yang diharapkan. Upah jurnalis masih jauh dari kata layak. Jika dibandingkan dengan upah jurnalis Malaysia ataupun Thailand, gaji jurnalis Indonesia hanya seperempatnya. Menurut Dewan Pers, saat ini tersebar 829 media cetak, 2.000-an stasiun radio, dan 65 stasiun televisi. Namun, perusahaan media cetak yang berkualitas hanya 249 perusahaan atau 30%, sementara media elektronik yang layak bisnis cuma 10%.
Artinya, begitu mudah pemodal mendirikan perusahaan media, tapi tak memperhitungkan kelayakan kesejahteraan pekerjanya. Pengusaha media kerap berlindung di balik rendahnya tiras, iklan yang minim, dan lain-lain, untuk tidak menaikkan upah dan kesejahteraan pekerjanya. Celakanya pula, di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur tentang kelayakan modal sebuah perusahaan media bisa berdiri, termasuk berapa besar perusahaan media minimal harus mengupah pekerjanya.
Menurut survei AJI Indonesia pada 2005, masih ada media yang menggaji jurnalisnya Rp 200 ribu sebulan. Sebuah angka yang masih sangat jauh dari upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, jelas. Mutu liputan jadi asal-asalan, dan banyak jurnalis yang terjebak di dalam pusaran amplop. Padahal amplop makin mengaburkan jurnalis dari independensi dan objektivitas. AJI memang sejak awal berdiri dengan tegas menolak amplop. Solusinya, apalagi jika bukan upah layak bagi jurnalis.
Menurut survei AJI Jakarta tahun 2006, upah layak minimum jurnalis Jakarta sebesar Rp 3,1 juta. Tentu jumlah tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi inflasioner saat ini. Angka ini bukanlah angka yang muluk. Jurnalis bisa meraihnya dengan cara perjuangan bersama. Solidaritas, berorganisasi, berserikat adalah kuncinya.
Namun, perjuangan jurnalis melalui serikat pekerja, harus diakui, membutuhkan stamina yang panjang. Tak jarang terjadi manajemen menghalangi sikap kritis jurnalisnya. Tindakan anti-serikat masih kental terasa di beberapa media. Padahal hak berserikat dilindungi oleh Undang-Undang 21/2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja.
Contoh telanjang yang bisa kita lihat adalah pemecatan jurnalis Kompas, Bambang Wisudo, Desember silam. Pendepakan Wisudo yang tak lain adalah sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), sangat kental beraroma pemberangusan aktivitas serikat pekerja (union busting). Wisudo dimutasi ke Ambon—sementara Syahnan Rangkuti (ketua PKK) dimutasi ke Padang—setelah beberapa waktu sebelumnya PKK berhasil mendesak manajemen Kompas untuk memberikan deviden saham karyawan sebesar 20%.
Itulah. Nasib jurnalis memang begitu ironis. Jurnalis galak dan garang mengritik pedas setiap kebijakan pemerintah dan penguasa, tapi tak punya posisi tawar di hadapan manajemennya sendiri. Ibarat kata, besar di luar namun kecil di dalam perusahaannya sendiri. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Jurnalis harus bersatu, berbareng bergerak memperjuangkan hak-haknya.
Oleh karenanya dalam peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2007 ini, AJI Jakarta menyerukan kepada seluruh pekerja media (jurnalis, bagian iklan, percetakan, sirkulasi, keuangan, dan lain-lain) untuk bersatu mengorganisasikan diri dalam serikat pekerja. Selain itu, dalam hari kemenangan kaum buruh sedunia ini, AJI Jakarta juga menuntut:
1. Perusahaan media untuk memberikan upah layak bagi jurnalis atau seluruh pekerjanya.
2. Perusahaan media untuk memberikan hak berserikat kepada pekerjanya.
3. Hentikan pemberangusan serikat pekerja di perusahaan media.
Dengan upah yang layak, integritas jurnalis makin terbangun. Mutu media pun makin terasah.
Jurnalis Juga Buruh!
Persatuan bagi Pekerja Media!
Jakarta, 30 Mei 2007
Winuranto Adhi
Koordinator Divisi Serikat Pekerja
Jajang Jamaludin
Ketua AJI Jakarta
foto- Kompas:Emilius.C.Alexey
0 comments:
Post a Comment