Perempuan-perempuan Kereta
Awal Maret 2007.
Siang itu terik matahari menyinari Bogor, kota yang sehari-hari diguyur hujan. Maryanah dan lima temannya berteduh di bawah pohon belimbing, di sisi peron depo Stasiun Kereta Api Bogor. Mereka menunggu kereta listrik datang dari Jakarta untuk dibersihkan. Sembari menunggu, perempuan menjelang 50 tahun itu bercengkerama dengan rekan-rekan kerjanya. Mereka menyantap buah belimbing yang jatuh dari pohon itu.
Seperti biasa, rangkaian kereta yang harus mereka bersihkan datang terlambat. Setelah hampir tiga jam menanti, di ujung lintasan muncul lokomotif memasuki depo. Maryanah menarik nafas lega. Segera ia dan rekan-rekannya menyingsingkan lengan baju. Sapu, sikat, dan ember segera mereka sambar. Pekerjaan siap dimulai.
Dengan cekatan tangan keriput Maryanah menggosok atap dan dinding gerbong yang penuh gambar tempel dan coretan. Perempuan bertubuh sedang itu naik turun bangku untuk menggapai gambar tempel yang mengotori gerbong. Kadang ia harus bergelantungan. Satu kakinya bertumpu pada bangku, dan satu tangan berpengangan tiang. Dalam hitungan menit, nafasnya mulai terengah-engah.
Lebih dari dua jam Maryanah dan lima rekannya menyiram, menyikat, menggosok, dan mengelap bagian dalam gerbong kereta listrik kelas ekonomi itu. Seluruh bagian gerbong tak luput dari jamahan tangan mereka. Gerbong kereta yang harus mereka bersihkan siang itu luar biasa kotor. Mulai dari lantai gerbong yang penuh sampah dan jejak alas kaki hingga dinding yang penuh gambar tempel promosi.
Membersihkan gerbong kereta listrik tak hanya berat, tapi juga penuh risiko. Jika tidak hati-hati, mereka bisa tersengat listrik. Karena itu Maryanah selalu memastikan mesin dan aliran listrik kereta sudah padam sebelum membanjiri gerbong dengan air. Namun, terkadang masinis lupa mematikan mesin kereta sebelum meninggalkannya di depo.
“Waswas, soalnya kalau kita kesetrum kan mati semua,” kata Maryanah.
Maryanah mengantongi Rp 5.000 untuk kerja setengah hari. "Sebenarnya nggak sebanding. Sekarang upah lima ribu perak, sedangkan beras seliter saja sudah lima ribu perak,” tambahnya.
Agar dapur tetap ngebul, ibu tiga anak ini harus memutar otak untuk membelanjakan uangnya. Ia tak ingin anak bungsunya yang masih duduk di kelas III SMK putus sekolah menyusul dua kakaknya.
Untuk menghemat, warga Bojong Jengkol, Cilebut, Bogor, ini setiap hari berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju Stasiun Cilebut. Dari sana ia menumpang gratis kereta listrik menuju Stasiun Bogor. Maryanah juga membawa bekal makan siang dan air minum dari rumah.
Maryanah sudah menjalani profesinya sepuluh tahun. Mulanya ia mencuci kereta hanya pada malam hari. Dini hari dia pulang dengan upah Rp 2.500. Suaminya yang bekerja sebagai tukang ojek hanya mampu mengumpulkan Rp 20.000 per hari.
Kerja malam membuat para tetangga bergunjing dan menuduhnya nyambi sebagai pekerja seks komersial. Namun ia tak peduli. Yang penting ia bisa membeli beras. ”Kebanyakan orang bilang ini-lah, itu-lah. Walaupun kerja malam, kita tetap saja kerja, nggak melakukan hal yang negatif,” ujarnya.
Rambutnya makin memutih. Kulitnya makin keriput. Ototnya makin lemah. Maryanah kian sering sakit-sakitan. Jika terkena udara dingin, tangan dan kakinya pegal-pegal. Bahkan, tak jarang tangannya mati rasa, tak bisa digerakkan sama sekali.
Maryanah dan rekan-rekannya lalu meminta jam kerja siang hari. Namun permintaan itu tidak dikabulkan atasannya. Maryanah dan teman-temannya pun mogok kerja. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan. Sejak dua tahun lalu Maryanah bekerja siang hari.
Kini beban hidup Maryanah semakin berat. Sudah beberapa bulan terakhir ini suaminya tidak lagi ngojek karena sakit. Kata dokter, suaminya kena radang paru-paru, akibat angin malam yang menerpa dadanya saat ngojek.
Walau biaya pengobatan suaminya cuma-cuma berkat kartu Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin, toh ongkos menuju rumah sakit di Cisarua, Jawa Barat, cukup mahal untuk kantong Maryanah. Pemasukan keluarganya pun turun drastis. Sepeda motor tua yang biasa digunakan suaminya untuk mencari nafkah telah digadaikan Rp 1,2 juta.
“Apa saja yang ada saya jual,” katanya. “Yang penting mah di rumah ada uang belanja dan untuk sekolah anak.”
Beban sama berat ditanggung Rustini, 35 tahun. Sudah setahun perempuan ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Suaminya tidak lagi bisa bekerja karena kakinya patah tertabrak mobil. Sang suami tak lagi bisa bekerja sebagai buruh tani atau menggembala kambing.
Erwin, anak sulung Rustini, terpaksa meninggalkan bangku kelas III sekolah menengah kejuruan. Walau Erwin mendapat beasiswa penuh, Rustini tak mampu membiaya ongkos ke sekolah Rp 5.000 sehari. “Buat makan tiap hari saja bingung. Nggak sanggup!” ujarnya sambil mengusap air mata.
Anak keduanya, Eneng, juga terancam putus sekolah, walau mendapat gelar siswi SMP berprestasi. Rustini tak mampu membayar biaya ujian Eneng. Semua barang di rumahnya sudah habis terjual. Anak sulungnya yang merintis usaha pembibitan pohon belum dapat diandalkan untuk membantu ekonomi keluarga.
“Sekarang bayar ujian Rp 370.000. Belum keliatan duitnya dari mana. Padahal, harus lunas tanggal 15 Maret,” kata Rustini. “Pengennya sih sekolah diterusin, tapi kayaknya nggak sanggup.”
Mata Rustini menerawang. “Sayang, pada putus sekolah. Tapi duitnya memang nggak ada. Terpaksa. Mau nyari bantuan, ke mana? Sedih, sih sedih! Tapi apa boleh buat, nggak ada ongkos.”
Penghasilan yang hanya Rp 5.000 sehari jelas tidak cukup untuk membiayai keluarganya. Rustini mencari pekerjaan sambilan sebagai buruh serabutan. Apa pun yang menghasilkan uang, ia kerjakan. Kadang mencuci pakaian. Kadang menjadi tukang masak. Tapi ia tetap tak mampu menyekolahkan anak-anaknya.
Selesai membersihkan gerbong-gerbong kereta, Maryamah, Rustini, dan teman-temannya beranjak membersihkan diri. Lalu mereka menemui petugas di Stasiun Bogor untuk mengambil upah Rp 5.000 itu. Senyum kembali menghiasi bibir Maryanah, Rustini, dan perempuan kereta lain. Hari ini mereka bisa membeli seliter beras lagi. Mereka sungguh perempuan pejuang kehidupan sejati.
Author: Liza Desylanhi
Siang itu terik matahari menyinari Bogor, kota yang sehari-hari diguyur hujan. Maryanah dan lima temannya berteduh di bawah pohon belimbing, di sisi peron depo Stasiun Kereta Api Bogor. Mereka menunggu kereta listrik datang dari Jakarta untuk dibersihkan. Sembari menunggu, perempuan menjelang 50 tahun itu bercengkerama dengan rekan-rekan kerjanya. Mereka menyantap buah belimbing yang jatuh dari pohon itu.
Seperti biasa, rangkaian kereta yang harus mereka bersihkan datang terlambat. Setelah hampir tiga jam menanti, di ujung lintasan muncul lokomotif memasuki depo. Maryanah menarik nafas lega. Segera ia dan rekan-rekannya menyingsingkan lengan baju. Sapu, sikat, dan ember segera mereka sambar. Pekerjaan siap dimulai.
Dengan cekatan tangan keriput Maryanah menggosok atap dan dinding gerbong yang penuh gambar tempel dan coretan. Perempuan bertubuh sedang itu naik turun bangku untuk menggapai gambar tempel yang mengotori gerbong. Kadang ia harus bergelantungan. Satu kakinya bertumpu pada bangku, dan satu tangan berpengangan tiang. Dalam hitungan menit, nafasnya mulai terengah-engah.
Lebih dari dua jam Maryanah dan lima rekannya menyiram, menyikat, menggosok, dan mengelap bagian dalam gerbong kereta listrik kelas ekonomi itu. Seluruh bagian gerbong tak luput dari jamahan tangan mereka. Gerbong kereta yang harus mereka bersihkan siang itu luar biasa kotor. Mulai dari lantai gerbong yang penuh sampah dan jejak alas kaki hingga dinding yang penuh gambar tempel promosi.
Membersihkan gerbong kereta listrik tak hanya berat, tapi juga penuh risiko. Jika tidak hati-hati, mereka bisa tersengat listrik. Karena itu Maryanah selalu memastikan mesin dan aliran listrik kereta sudah padam sebelum membanjiri gerbong dengan air. Namun, terkadang masinis lupa mematikan mesin kereta sebelum meninggalkannya di depo.
“Waswas, soalnya kalau kita kesetrum kan mati semua,” kata Maryanah.
Maryanah mengantongi Rp 5.000 untuk kerja setengah hari. "Sebenarnya nggak sebanding. Sekarang upah lima ribu perak, sedangkan beras seliter saja sudah lima ribu perak,” tambahnya.
Agar dapur tetap ngebul, ibu tiga anak ini harus memutar otak untuk membelanjakan uangnya. Ia tak ingin anak bungsunya yang masih duduk di kelas III SMK putus sekolah menyusul dua kakaknya.
Untuk menghemat, warga Bojong Jengkol, Cilebut, Bogor, ini setiap hari berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju Stasiun Cilebut. Dari sana ia menumpang gratis kereta listrik menuju Stasiun Bogor. Maryanah juga membawa bekal makan siang dan air minum dari rumah.
Maryanah sudah menjalani profesinya sepuluh tahun. Mulanya ia mencuci kereta hanya pada malam hari. Dini hari dia pulang dengan upah Rp 2.500. Suaminya yang bekerja sebagai tukang ojek hanya mampu mengumpulkan Rp 20.000 per hari.
Kerja malam membuat para tetangga bergunjing dan menuduhnya nyambi sebagai pekerja seks komersial. Namun ia tak peduli. Yang penting ia bisa membeli beras. ”Kebanyakan orang bilang ini-lah, itu-lah. Walaupun kerja malam, kita tetap saja kerja, nggak melakukan hal yang negatif,” ujarnya.
Rambutnya makin memutih. Kulitnya makin keriput. Ototnya makin lemah. Maryanah kian sering sakit-sakitan. Jika terkena udara dingin, tangan dan kakinya pegal-pegal. Bahkan, tak jarang tangannya mati rasa, tak bisa digerakkan sama sekali.
Maryanah dan rekan-rekannya lalu meminta jam kerja siang hari. Namun permintaan itu tidak dikabulkan atasannya. Maryanah dan teman-temannya pun mogok kerja. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan. Sejak dua tahun lalu Maryanah bekerja siang hari.
Kini beban hidup Maryanah semakin berat. Sudah beberapa bulan terakhir ini suaminya tidak lagi ngojek karena sakit. Kata dokter, suaminya kena radang paru-paru, akibat angin malam yang menerpa dadanya saat ngojek.
Walau biaya pengobatan suaminya cuma-cuma berkat kartu Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin, toh ongkos menuju rumah sakit di Cisarua, Jawa Barat, cukup mahal untuk kantong Maryanah. Pemasukan keluarganya pun turun drastis. Sepeda motor tua yang biasa digunakan suaminya untuk mencari nafkah telah digadaikan Rp 1,2 juta.
“Apa saja yang ada saya jual,” katanya. “Yang penting mah di rumah ada uang belanja dan untuk sekolah anak.”
Beban sama berat ditanggung Rustini, 35 tahun. Sudah setahun perempuan ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Suaminya tidak lagi bisa bekerja karena kakinya patah tertabrak mobil. Sang suami tak lagi bisa bekerja sebagai buruh tani atau menggembala kambing.
Erwin, anak sulung Rustini, terpaksa meninggalkan bangku kelas III sekolah menengah kejuruan. Walau Erwin mendapat beasiswa penuh, Rustini tak mampu membiaya ongkos ke sekolah Rp 5.000 sehari. “Buat makan tiap hari saja bingung. Nggak sanggup!” ujarnya sambil mengusap air mata.
Anak keduanya, Eneng, juga terancam putus sekolah, walau mendapat gelar siswi SMP berprestasi. Rustini tak mampu membayar biaya ujian Eneng. Semua barang di rumahnya sudah habis terjual. Anak sulungnya yang merintis usaha pembibitan pohon belum dapat diandalkan untuk membantu ekonomi keluarga.
“Sekarang bayar ujian Rp 370.000. Belum keliatan duitnya dari mana. Padahal, harus lunas tanggal 15 Maret,” kata Rustini. “Pengennya sih sekolah diterusin, tapi kayaknya nggak sanggup.”
Mata Rustini menerawang. “Sayang, pada putus sekolah. Tapi duitnya memang nggak ada. Terpaksa. Mau nyari bantuan, ke mana? Sedih, sih sedih! Tapi apa boleh buat, nggak ada ongkos.”
Penghasilan yang hanya Rp 5.000 sehari jelas tidak cukup untuk membiayai keluarganya. Rustini mencari pekerjaan sambilan sebagai buruh serabutan. Apa pun yang menghasilkan uang, ia kerjakan. Kadang mencuci pakaian. Kadang menjadi tukang masak. Tapi ia tetap tak mampu menyekolahkan anak-anaknya.
Selesai membersihkan gerbong-gerbong kereta, Maryamah, Rustini, dan teman-temannya beranjak membersihkan diri. Lalu mereka menemui petugas di Stasiun Bogor untuk mengambil upah Rp 5.000 itu. Senyum kembali menghiasi bibir Maryanah, Rustini, dan perempuan kereta lain. Hari ini mereka bisa membeli seliter beras lagi. Mereka sungguh perempuan pejuang kehidupan sejati.
Author: Liza Desylanhi
0 comments:
Post a Comment