SEARCH PKS post

4/19/2007

Wartawan & Mutu Jurnalistik Yang Rendah

oleh: Wisnu Hanggoro dan Irene Iriawati
Suara Merdeka, 14 Maret 2006

HASIL penelitian terakhir Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang kesejahteraan wartawan menuntut perhatian masyarakat terhadap profesi wartawan.Penelitian di 17 kota pada akhir 2005, yang melibatkan responden 400 wartawan dari 80 media massa itu mengungkap penghasilan rata-rata wartawan antara Rp 900 ribu dan Rp 1,4 juta per bulan. Yang menyedihkan masih dijumpainya wartawan yang gajinya di bawah Rp 200 ribu per bulan.

Temuan tersebut memperkuat hasil penelitian AJI-Pusat dan AJI-Surabaya enam tahun sebelumnya (1999) yang mengungkap sangat rendahnya gaji wartawan. Saat itu, dari 250 responden di Jakarta diperoleh data
5% wartawan ber-gaji di bawah Rp 250 ribu,
35% bergaji antara Rp 500 ribu-Rp 1 juta,
30% bergaji Rp 1 juta-Rp 2 juta,
dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta.
Dalam pada itu, dari 276 responden yang tersebar di 12 kabupaten dan kotamadia di Jawa Timur diperoleh data
0,7% bergaji di bawah Rp 100 ribu,
15,2% bergaji Rp 100 ribu-Rp 250 ribu,
34,1% bergaji Rp 250 ribu-Rp 500 ribu,
21% bergaji Rp 500 ribu-Rp 750 ribu.
Kemudian 14% bergaji Rp 750 ribu-Rp 1 juta,
dan 13,8% bergaji di atas Rp 1 juta.

Kalau dibandingkan dengan temuan enam tahun silam itu, kesejahteraan wartawan di negeri ini bukannya semakin meningkat melainkan justru semakin menurun. Ini karena biaya dan beban hidup yang harus dipikul masyarakat Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat tajam.

Hasil penelitian tersebut pada dasarnya juga semakin memperjelas kenyataan bahwa menjadi wartawan berarti memasuki kawasan kerja yang bebannya berlipat-lipat. Dalam literatur psikologi terapan, pekerjaan wartawan, di samping pekerjaan sopir, pelawak, ataupun tentara,
termasuk dalam kategori rentan penyakit dan memiliki harapan hidup rendah. Ini karena pekerjaan wartawan memiliki tingkat stres yang cukup tinggi sebagai akibat tuntutan target pembuatan berita yang deadline-nya tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Risiko Kekerasan
Laporan Reporters Sans Frontiers (RSF, Reporter Lintas Batas) di Paris (04/01/06) merupakan bukti konkrit tentang risiko pekerjaan wartawan. Dalam laporan itu dinyatakan selama tahun 2005 ada sekitar 1.300 wartawan di berbagai belahan dunia yang menghadapi ancaman dan penyerangan dari orang-orang yang terusik oleh hasil kerja mereka.

Sejalan dengan laporan RSF, tulisan Katharine Q Seelye di The New York Times (14/02/06) mempertegas besarnya risiko yang harus dihadapi wartawan, khususnya saat melakukan liputan konflik atau peperangan. Dalam tulisan itu Seelye, mengacu laporan The Committee to Protect Journalists (CPJ), menyebutkan selama 2005 telah ditemukan 22 orang wartawan terbunuh di medan pe-rang Irak. Jumlah ini telah menambah total korban wartawan terbunuh selama invasi AS di Irak antara 2003-2005 menjadi sebanyak 61 orang. Jumlah itu melampaui yang terjadi di Aljazair selama konflik 1993-1996 yang menelan korban 58 orang wartawan terbunuh saat menjalankan tugasnya.

Di Indonesia, kasus terbunuhnya Udin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta di masa Orde Baru merupakan salah satu contoh risiko terberat yang dihadapi wartawan di negerinya sendiri. Sampai saat ini kasus tersebut tetap gelap.

Pada Agustus 2005 kasus yang hampir serupa dengan Udin juga menimpa wartawan ''Berita Sore" Medan, Elyudin Telaumbanua yang tengah melakukan liputan pilkada di Kabupaten Nias Selatan. Para saksi mata menyebutkan, Elyudin diculik oleh gerombolan tak dikenal. Selama lebih dari dua bulan sejak itu keberadaannya tidak diketahui lagi hingga pada 14 Oktober 2005 Dewan Pers melayangkan surat pernyataan atas kasus tersebut.
Anehnya, berita seputar hilangnya Elyudin ini seperti menguap begitu saja.

Kasus yang cukup banyak terjadi di negeri ini adalah penganiayaan terhadap wartawan. Hanya saja, data terhadap kasus-kasus tersebut tersebar tanpa ada pihak yang melakukan inventarisasi ataupun dokumentasi. Pada tahun 2001 AJI pusat sebenarnya telah merintis langkah semacam itu dengan menyajikan laporan tahunan yang di dalamnya antara lain menyebutkan selama 2000-2001 telah terjadi 83 kasus penganiayaan terhadap wartawan.
Sayang, laporan semacam itu tidak bisa dilakukan secara rutin.

Tentu kondisi semacam itu tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan AJI semata, sebab dari sekitar 44 organisasi kewartawanan yang bermunculan di negeri ini tak satupun yang memiliki database yang mendokumentasikan kasus-kasus semacam itu. Celakanya, apabila kita membuka website Dewan Pers, sebuah institusi yang dibentuk atas amanat UU No 40/1999 tentang Pers, juga tidak kita temukan data yang mendokumentasikan deretan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Akibat ketidaktersediaan data secara lengkap itu, masyarakat hanya mengetahui sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan di berbagai kawasan di negeri ini sebagai kasus-kasus yang terpisah satu dengan lainnya. Tidak ada yang mencoba menarik benang merah antara kasus satu dan lainnya yang memungkinkan penanganan secara konstruktif.

Sebagai contoh, kasus penganiayaan wartawan oleh oknum aparat keamanan yang mulai bermunculan belakangan ini sebagaimana dialami kameraman Indosiar, Wensy Pantou
oleh sejumlah oknum di Manado Januari 2006.

Kasus semacam itu hanyalah sebagian kecil yang muncul ke permukaan. Di lapangan, sangat banyak wartawan yang menghadapi kekerasan berupa ancaman agar tidak memberitakan hal-hal tertentu yang menyangkut kejahatan publik tokoh-tokoh tertentu. Menghadapi jenis kekerasan semacam ini biasanya wartawan memilih diam tanpa berani melapor ke pihak berwajib.

Perlu Perlindungan
Menyaksikan sederet kasus kekerasan tersebut, sudah waktunya dibangun satu sistem yang memungkinkan wartawan bisa menjalankan profesinya secara maksimal. Risiko yang dihadapi wartawan adalah risiko bagi keluarganya dan sekaligus bagi masyarakat luas.
Hilangnya seorang wartawan yang tengah mengabdi pada tugasnya mengandung arti hilangnya kesempatan bagi masyarakat untuk melihat dunia dengan benar.

Berkat kerja wartawan, tanpa disadari pengetahuan umat manusia terus bertambah.

Harus diakui, dalam kondisi riil di lapangan, masih banyak wartawan yang belum memenuhi standar profesi. Oleh karena itu menjadi kewajiban tiap-tiap lembaga media atau organisasi-organisa si kewartawanan untuk memberikan pelatihan memadai agar para wartawan yang menjadi anggotanya terus berkembang sesuai dengan tuntutan profesi mereka.

Namun, yang terpenting dan terasa mendesak, tentu saja yang terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan terhadap wartawan. Sudah saatnya dibuat standar gaji yang layak bagi profesi wartawan. Lembaga media yang tidak mampu menggaji wartawannya secara layak mestinya tidak perlu ada. Lembaga-lembaga semacam itu tidak saja mengeksploitasi karyawannya dengan sekadar memberi "gelar wartawan," tetapi juga mengelabuhi masyarakat dengan kualitas jurnalisme yang rendah.

Wisnu Hanggoro & Irene Iriawati, keduanya pendiri dan aktivis Lembaga Studi Pers & Informasi - LeSPI, Semarang

0 comments:

Copyrights @ 2006 Perkumpulan Karyawan SmartFM - Jakarta, Indonesia
http://crew-smartfm.blogspot.com

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP