Memperingati Hari Air Sedunia 2007
Kelangkaan Air Baku: Tantangan Dalam Penyediaan Air Minum Untuk Perkotaan
Mendekati setengah jalan menuju dead line pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, kinerja pencapaian Indonesia kurang menggembirakan, bahkan cenderung menurun. Berdasarkan laporan A Future Within Reach dan Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2006 yang dirilis oleh UNDP, Indonesia termasuk dalam negara-negara yang mundur dalam upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs). Laporan ini menempatkan Indonesia dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina. Tantangan Indonesia untuk mencapai Target 10 pada tujuan nomor 7 yaitu mengurangi separuh, pada tahun 2015, dari proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar, sangat berat. Hingga saat ini, kurang lebih 100 juta penduduk Indonesia belum mempunyai akses terhadap air yang aman untuk diminum.
Kondisi ini tidak terlepas dari kenyataan semakin langkanya air baku untuk air minum. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara yang kaya akan air, ancaman krisis air baku semakin nyata terlihat. Hal ini dapat terlihat dari kondisi neraca air di Pulau Jawa. Hingga tahun 2000, ketersediaan air per kapita di Pulau Jawa sebesar 1.750 meter kubik per kapita per tahun, jauh di bawah standar kecukupan yaitu minimal 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah ini diperkirakan akan semakin menurun hingga mencapai 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2020. Selain Pulau Jawa, kelangkaan air ini juga akan mengancam Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.
Potensi kelangkaan air baku ini semakin diperparah oleh pencemaran sungai terutama oleh air limbah rumah tangga. Sebanyak 76,2 % dari 52 sungai di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar berat oleh cemaran organik, dan 11 sungai-sungai utama tercemar berat oleh unsur amonium. Mayoritas sungai yang terdapat di kota padat penduduk seperti di pulau Jawa cenderung lebih tercemar oleh bakteri coliform dan fecal coli. Keberadaan bakteri fecal coli tersebut menunjukkan telah terjadinya pencemaran tinja pada sungai-sungai tersebut. Bakteri faecal coli ini dapat menyebabkan penyakit diare.
Berdasarkan survey oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2005, diperkirakan 135.000 bayi di Indonesia meninggal akibat diare setiap tahunnya. Selain itu, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP), buruknya kualitas air baku akibatnya rendahnya penanganan sanitasi, menyebabkan pelanggan PDAM harus mengeluarkan biaya 25% lebih mahal untuk pembayaran rekening tagihannya.
Meskipun Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengharuskan adanya keterpaduan antara air minum dan air limbah, namun sampai saat ini masih belum ada keseragaman konsep dalam hal penanganan air limbah. Pembangunan air minum saat ini masih berorientasi pada pengolahan air baku menjadi air minum, tetapi tidak memperhatikan buangan yang dihasilkan dari penggunaan air minum yang akan menyebabkan penambahan beban pencemaran air baku, bila hal ini terus berlanjut akan menyebabkan tingginya dana yang diperlukan untuk mendapatkan kualitas air minum yang memenuhi syarat kesehatan dan pemulihan sumber daya air.
Menyadari hal itu, para stakeholder harus bersama-sama untuk mulai memperhatikan kaitan antara bidang air minum dan air limbah. Upaya tersebut dapat diawali dengan membentuk suatu kemitraan dan dukungan advokasi secara intens untuk menggalang dukungan dari seluruh stakeholder terutama masyarakat sebagai pengguna air bersih dan produsen air limbahnya. Dukungan media sebagai sumber informasi bagi masyarakat akan mempercepat proses tersebut dan diharapkan dapat menjadi perhatian bagi para pengambil keputusan.
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (BAPPENAS, Dept. Pekerjaan Umum, Dept. Kesehatan, Dept. Dalam Negeri, Dept. Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup), FORKAMI, USAID/ESP
Mendekati setengah jalan menuju dead line pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, kinerja pencapaian Indonesia kurang menggembirakan, bahkan cenderung menurun. Berdasarkan laporan A Future Within Reach dan Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2006 yang dirilis oleh UNDP, Indonesia termasuk dalam negara-negara yang mundur dalam upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs). Laporan ini menempatkan Indonesia dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina. Tantangan Indonesia untuk mencapai Target 10 pada tujuan nomor 7 yaitu mengurangi separuh, pada tahun 2015, dari proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar, sangat berat. Hingga saat ini, kurang lebih 100 juta penduduk Indonesia belum mempunyai akses terhadap air yang aman untuk diminum.
Kondisi ini tidak terlepas dari kenyataan semakin langkanya air baku untuk air minum. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara yang kaya akan air, ancaman krisis air baku semakin nyata terlihat. Hal ini dapat terlihat dari kondisi neraca air di Pulau Jawa. Hingga tahun 2000, ketersediaan air per kapita di Pulau Jawa sebesar 1.750 meter kubik per kapita per tahun, jauh di bawah standar kecukupan yaitu minimal 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah ini diperkirakan akan semakin menurun hingga mencapai 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2020. Selain Pulau Jawa, kelangkaan air ini juga akan mengancam Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.
Potensi kelangkaan air baku ini semakin diperparah oleh pencemaran sungai terutama oleh air limbah rumah tangga. Sebanyak 76,2 % dari 52 sungai di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar berat oleh cemaran organik, dan 11 sungai-sungai utama tercemar berat oleh unsur amonium. Mayoritas sungai yang terdapat di kota padat penduduk seperti di pulau Jawa cenderung lebih tercemar oleh bakteri coliform dan fecal coli. Keberadaan bakteri fecal coli tersebut menunjukkan telah terjadinya pencemaran tinja pada sungai-sungai tersebut. Bakteri faecal coli ini dapat menyebabkan penyakit diare.
Berdasarkan survey oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2005, diperkirakan 135.000 bayi di Indonesia meninggal akibat diare setiap tahunnya. Selain itu, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP), buruknya kualitas air baku akibatnya rendahnya penanganan sanitasi, menyebabkan pelanggan PDAM harus mengeluarkan biaya 25% lebih mahal untuk pembayaran rekening tagihannya.
Meskipun Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengharuskan adanya keterpaduan antara air minum dan air limbah, namun sampai saat ini masih belum ada keseragaman konsep dalam hal penanganan air limbah. Pembangunan air minum saat ini masih berorientasi pada pengolahan air baku menjadi air minum, tetapi tidak memperhatikan buangan yang dihasilkan dari penggunaan air minum yang akan menyebabkan penambahan beban pencemaran air baku, bila hal ini terus berlanjut akan menyebabkan tingginya dana yang diperlukan untuk mendapatkan kualitas air minum yang memenuhi syarat kesehatan dan pemulihan sumber daya air.
Menyadari hal itu, para stakeholder harus bersama-sama untuk mulai memperhatikan kaitan antara bidang air minum dan air limbah. Upaya tersebut dapat diawali dengan membentuk suatu kemitraan dan dukungan advokasi secara intens untuk menggalang dukungan dari seluruh stakeholder terutama masyarakat sebagai pengguna air bersih dan produsen air limbahnya. Dukungan media sebagai sumber informasi bagi masyarakat akan mempercepat proses tersebut dan diharapkan dapat menjadi perhatian bagi para pengambil keputusan.
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (BAPPENAS, Dept. Pekerjaan Umum, Dept. Kesehatan, Dept. Dalam Negeri, Dept. Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup), FORKAMI, USAID/ESP
-
Pokja AMPL
0 comments:
Post a Comment