Mbah Inah:Berjalan Menurut Kata Hati
Perempuan pengemis ini menangis bukan karena hidupnya melarat tetapi karena pengalaman diabaikan. Ketika sakit, teman dan tetangganya tak ada yang peduli kecuali seorang bocah yang rajin membawa minuman.
MBAH Inah tidak pernah tahu, apalagi baca novel penulis Italia Susanna Tamaro berjudul Pergilah Kemana Hati Membawamu (Va’ dove ti porta il cuore) yang menjadi best seller internasional pada tahun 1994. Maklum, Mbah Inah hanya seorang pengemis dan lebih dari itu, ia tidak melek huruf. Namun sebagai pengemis (ia sendiri menyebut dirinya sebagai "pencari amal" meski lebih tepat ia mencari orang yang mau memberikan sedekah atau amal) ia menerapkan hal yang mirip dengan apa yang dikatakan Tamaro, yaitu berjalan kemana hati menuntun dia.
Bedanya, Mbah Inah memutuskan sepenuhnya secara instingtif dan seketika arah mana yang dia tuju hari itu untuk mencari sedekah. Dalam konteks Tamaro, ketika orang bingung saat berada di persimpangan jalan kehidupan, kata (suara) hati mesti diikuti namun putusan untuk itu harus diambil setelah melewati proses permenungan yang hening.
"Saya jalan saja seturut kata hati. Hari ini ke sini, besok entah ke mana, tidak ada rencana-rencana, jalan aja," kata Mbah Inah di halaman tempat tinggal saya di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Saat itu ia ingin mengaso sebentar karena capai berjalan.
Ia bilang, ia tinggal di rumah kos-kosan di bantaran Sungai Ciliwung di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur yang padat dan langganan banjir. Jarak antara Kampung Melayu dan Pejaten sekitar 10 kilometer. Bagaimana dia bisa sampai ke Pejaten. Dia tidak mungkin jalan kaki sejauh itu. Fisiknya sudah tua, kulitnya keriput di sana-sini. Jalannya pun susah. Jangan-jangan dia didrop pakai mobil oleh orang-orang yang ingin mencari untung dari ’profesi’ para pengemis. "Saya naik angkot dulu," katanya. Bermodal juga Mbah ini!
Caranya mengemis memang tidak seperti pengemis kebanyakan yang main todong atau langsung menadahkan tangan. Dia memberi sapaan terlebih dahulu untuk membuka kesempatan komunikasi dengan orang yang dijumpainya. Dengan begitu ia berharap bisa menjalin hubungan jangka panjang dengan orang-orang itu.
Saat itu misalnya, ia berteriak dari luar pagar, ""Preiii (libur) nih?" Saya terkejut. Siapa perempuan tua gendut dan bertongkat yang sok akrab ini? "Iya," jawab saya ragu.
"Numpang duduk ya, Mbah capek," katanya sambil tersenyum. "Oh boleh, silakan," kata saya. Kebetulan memang ada bangku panjang di pekarangan. Ia masuk pekarangan lalu duduk. "Mbah boleh minta air minum, haus sekali," katanya kemudian.
Kami pun mengobrol berbagai hal termasuk kisah hidupnya. Sebuah kehidupan keras dan berat. Beberapa kali ia mencucurkan air mata. Namun dengan cepat pula dia berubah riang dan tertawa ngakak. "Saya nangis bukan karena ingin dikasihani tapi saya sedih," katanya.
Ia mengaku, sekarang berusia 70 tahun namun ia tidak tahu persis kapan ia lahir. Ia berasal dari Demak, Jawa Tengah. Sejak tahun 1960-an ia migrasi ke Jakarta, lalu menikah dan punya seorang anak.
"Tapi sekarang saya sebatangkara," katanya. Anaknya meninggal tahun 1974, tentang suaminya ia tidak cerita. Saat ini ia tinggal di kamar kos di bataran Sungai Ciliwung. "Di sana orang susah semua, ada dari Tegal, Brebes, Indramayu, dari mana-manalah," katanya.
Sebelum jadi pengemis, Mbah Inah menjadi seorang pembuat kasur. "Dulu pesanannya banyak. Sekarang sudah tua, tenaga Mbah sudah nggak ada," katanya sambil memperlihatkan lengannya.
"Sekarang, jalan pun sudah susah, harus dibantu pakai tongkat ini," lanjutnya. Sampai awal tahun lalu, katanya, ia belum menggunakan tongkat. "Ini gara-gara saya pernah disenggol mobil orang di dekat Kampung Melayu situ," katanya. Akibat senggolan itu ia harus istirahat selama sembilan bulan.
Saat menceritakan bagian ini ia menangis sedih. "Selama sembilan bulan saya tidur aja. Beberapa minggu pertama tidak makan. Tidak ada yang beri makan. Untung ada anak tetangga, ia masih sekolah, bernama Acong. Ia rajin bawa air minum untuk Mbah. Ia juga orang susah. Tapi ia gunakan uang jajannya untuk belikan saya minum. Kalau ingat itu sedih sekali hati saya. Saya bilang, kamu jangan pakai uang jajanmu untuk belikan Mbah minum. Tapi dia bilang tidak apa-apa Mbah. Saya sedih," katanya sambil menangis.
Teman-teman satu tempat tinggal tidak ada yang mau bantu? "Mereka pada pelit semua. Padahal saya suka ngasih mereka kalau ada makanan atau ada pemberian orang," jawabanya.
Seorang penolong yang hanya disebut sebagai "seorang dari Ragunan" menolong dia berobat ke dukun patah tulang di daerah Haji Nawi, Jakarta Selatan. "Mbah dibantu orang dari Ragunan itu. Dia memberi uang 250 ribu untuk berobat. Mbah lalu naik taksi ke tukang urut itu. Mbah gaya, tidak punya uang tapi naik taksi haha...," katanya.
Orang yang menabrak Mbah bagaimana, tidak ikut membantu? "Itu orang kurang ajar, dia tidak pernah kunjungi saya," jawabnya.
Mbah Inah tidak pernah membayangkan akan jadi pengemis di usia tuanya. Namun ia menerima kenyataan itu. Katanya, "Beginilah jalan hidup. Tapi, kita biar miskin yang penting kaya hati." Yang dia maksudkan, kemiskinan jangan menjadi alasan untuk tidak membantu sesama yang juga susah. "Saya suka berbagi. Ada anak tetangga nangis kelaparan, saya berikan uang untuk jajan. Ketika saya sakit, mereka tidak ada yang peduli. Ya sudah biarlah," katanya.
Soal kegiatannya mengemis ia mengatakan, "Saya cari amal. Dikasih syukur, nggak dikasih tidak apa-apa. Kalau orang kasih amal, itu untuk dirinya sendiri nanti di akhirat. Saya kan hanya alat."
Setelah merasa sudah cukup beristirahat, ia melanjutkan perjalanan. "Sudah ah, Mbah mau jalan lagi," katanya. Ia mengemas kain batik lusuh berisi barang bawaannya. Ada apa dalam kain itu? "Beras setengah kilo, tadi ada yang ngasih," katanya sambil tersipu. "Cari amalnya nanti sampai jam berapa?" tanya saya lagi. "Sesuka aja, kalau capek, ya pulang," jawabnya.
Penulis: Egidius Patnistik
MBAH Inah tidak pernah tahu, apalagi baca novel penulis Italia Susanna Tamaro berjudul Pergilah Kemana Hati Membawamu (Va’ dove ti porta il cuore) yang menjadi best seller internasional pada tahun 1994. Maklum, Mbah Inah hanya seorang pengemis dan lebih dari itu, ia tidak melek huruf. Namun sebagai pengemis (ia sendiri menyebut dirinya sebagai "pencari amal" meski lebih tepat ia mencari orang yang mau memberikan sedekah atau amal) ia menerapkan hal yang mirip dengan apa yang dikatakan Tamaro, yaitu berjalan kemana hati menuntun dia.
Bedanya, Mbah Inah memutuskan sepenuhnya secara instingtif dan seketika arah mana yang dia tuju hari itu untuk mencari sedekah. Dalam konteks Tamaro, ketika orang bingung saat berada di persimpangan jalan kehidupan, kata (suara) hati mesti diikuti namun putusan untuk itu harus diambil setelah melewati proses permenungan yang hening.
"Saya jalan saja seturut kata hati. Hari ini ke sini, besok entah ke mana, tidak ada rencana-rencana, jalan aja," kata Mbah Inah di halaman tempat tinggal saya di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Saat itu ia ingin mengaso sebentar karena capai berjalan.
Ia bilang, ia tinggal di rumah kos-kosan di bantaran Sungai Ciliwung di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur yang padat dan langganan banjir. Jarak antara Kampung Melayu dan Pejaten sekitar 10 kilometer. Bagaimana dia bisa sampai ke Pejaten. Dia tidak mungkin jalan kaki sejauh itu. Fisiknya sudah tua, kulitnya keriput di sana-sini. Jalannya pun susah. Jangan-jangan dia didrop pakai mobil oleh orang-orang yang ingin mencari untung dari ’profesi’ para pengemis. "Saya naik angkot dulu," katanya. Bermodal juga Mbah ini!
Caranya mengemis memang tidak seperti pengemis kebanyakan yang main todong atau langsung menadahkan tangan. Dia memberi sapaan terlebih dahulu untuk membuka kesempatan komunikasi dengan orang yang dijumpainya. Dengan begitu ia berharap bisa menjalin hubungan jangka panjang dengan orang-orang itu.
Saat itu misalnya, ia berteriak dari luar pagar, ""Preiii (libur) nih?" Saya terkejut. Siapa perempuan tua gendut dan bertongkat yang sok akrab ini? "Iya," jawab saya ragu.
"Numpang duduk ya, Mbah capek," katanya sambil tersenyum. "Oh boleh, silakan," kata saya. Kebetulan memang ada bangku panjang di pekarangan. Ia masuk pekarangan lalu duduk. "Mbah boleh minta air minum, haus sekali," katanya kemudian.
Kami pun mengobrol berbagai hal termasuk kisah hidupnya. Sebuah kehidupan keras dan berat. Beberapa kali ia mencucurkan air mata. Namun dengan cepat pula dia berubah riang dan tertawa ngakak. "Saya nangis bukan karena ingin dikasihani tapi saya sedih," katanya.
Ia mengaku, sekarang berusia 70 tahun namun ia tidak tahu persis kapan ia lahir. Ia berasal dari Demak, Jawa Tengah. Sejak tahun 1960-an ia migrasi ke Jakarta, lalu menikah dan punya seorang anak.
"Tapi sekarang saya sebatangkara," katanya. Anaknya meninggal tahun 1974, tentang suaminya ia tidak cerita. Saat ini ia tinggal di kamar kos di bataran Sungai Ciliwung. "Di sana orang susah semua, ada dari Tegal, Brebes, Indramayu, dari mana-manalah," katanya.
Sebelum jadi pengemis, Mbah Inah menjadi seorang pembuat kasur. "Dulu pesanannya banyak. Sekarang sudah tua, tenaga Mbah sudah nggak ada," katanya sambil memperlihatkan lengannya.
"Sekarang, jalan pun sudah susah, harus dibantu pakai tongkat ini," lanjutnya. Sampai awal tahun lalu, katanya, ia belum menggunakan tongkat. "Ini gara-gara saya pernah disenggol mobil orang di dekat Kampung Melayu situ," katanya. Akibat senggolan itu ia harus istirahat selama sembilan bulan.
Saat menceritakan bagian ini ia menangis sedih. "Selama sembilan bulan saya tidur aja. Beberapa minggu pertama tidak makan. Tidak ada yang beri makan. Untung ada anak tetangga, ia masih sekolah, bernama Acong. Ia rajin bawa air minum untuk Mbah. Ia juga orang susah. Tapi ia gunakan uang jajannya untuk belikan saya minum. Kalau ingat itu sedih sekali hati saya. Saya bilang, kamu jangan pakai uang jajanmu untuk belikan Mbah minum. Tapi dia bilang tidak apa-apa Mbah. Saya sedih," katanya sambil menangis.
Teman-teman satu tempat tinggal tidak ada yang mau bantu? "Mereka pada pelit semua. Padahal saya suka ngasih mereka kalau ada makanan atau ada pemberian orang," jawabanya.
Seorang penolong yang hanya disebut sebagai "seorang dari Ragunan" menolong dia berobat ke dukun patah tulang di daerah Haji Nawi, Jakarta Selatan. "Mbah dibantu orang dari Ragunan itu. Dia memberi uang 250 ribu untuk berobat. Mbah lalu naik taksi ke tukang urut itu. Mbah gaya, tidak punya uang tapi naik taksi haha...," katanya.
Orang yang menabrak Mbah bagaimana, tidak ikut membantu? "Itu orang kurang ajar, dia tidak pernah kunjungi saya," jawabnya.
Mbah Inah tidak pernah membayangkan akan jadi pengemis di usia tuanya. Namun ia menerima kenyataan itu. Katanya, "Beginilah jalan hidup. Tapi, kita biar miskin yang penting kaya hati." Yang dia maksudkan, kemiskinan jangan menjadi alasan untuk tidak membantu sesama yang juga susah. "Saya suka berbagi. Ada anak tetangga nangis kelaparan, saya berikan uang untuk jajan. Ketika saya sakit, mereka tidak ada yang peduli. Ya sudah biarlah," katanya.
Soal kegiatannya mengemis ia mengatakan, "Saya cari amal. Dikasih syukur, nggak dikasih tidak apa-apa. Kalau orang kasih amal, itu untuk dirinya sendiri nanti di akhirat. Saya kan hanya alat."
Setelah merasa sudah cukup beristirahat, ia melanjutkan perjalanan. "Sudah ah, Mbah mau jalan lagi," katanya. Ia mengemas kain batik lusuh berisi barang bawaannya. Ada apa dalam kain itu? "Beras setengah kilo, tadi ada yang ngasih," katanya sambil tersipu. "Cari amalnya nanti sampai jam berapa?" tanya saya lagi. "Sesuka aja, kalau capek, ya pulang," jawabnya.
Penulis: Egidius Patnistik
0 comments:
Post a Comment