Banjir & DOA Nasional
Bisnis Indonesia Online Jumat, 09/02/2007
"Indonesia Floods Leave 200,000 Homeless." Begitu kira-kira judul berita yang dimuat hampir di seluruh media internasional, seperti The Associated Press; Washington Post, AS; Focus News, Bulgaria; The Telegraph, Inggris; Turkish Daily News; MWC News, Kanada; ABC News Australia; BBC News, Inggris.
Berita banjir besar di Jakarta ini sempat menggeser beberapa berita buruk lainnya asal Indonesia, seperti flu burung dan lumpur panas Lapindo yang selalu dipantau perkembangannya oleh publik internasional.
Setelah diguyur hujan hanya selama hampir tiga hari berturut-turut-sejak Kamis (1 Feb.) hingga Sabtu (3 Feb.), Ibukota pun nyaris tenggelam. Air meluap kemana-mana, dari perumahan kelas bawah hingga ke kompleks perumahan menteri, bahkan Istana Presiden. Dari gang-gang sempit hingga jalan protokol.
foto:ofm
''Ini siklus lima tahunan. Tak perlu cari kambing hitam,'' kilah Gubernur DKI Sutiyoso. Memang pada saat yang bersamaan dilaporkan di Johor Malaysia dan Fiji-sebuah negara kepulauan dekat Irian, juga terlanda banjir. Namun jika ini siklus lima tahunan, mengapa seperti tidak ada persiapan sama sekali? Aneh bukan?
Siapa yang patut disalahkan dalam bencana kali ini? Sudahlah, hanya yang berjiwa ksatria saja yang berani mengakui kesalahannya. Tapi, pemerintah juga tak bisa lepas tangan sama sekali dengan berlindung di balik fenomena alam.
''Lahan hijau yang selama ini menjadi resapan air hujan banyak yang berubah fungsi menjadi perumahan,'' kata Wapres Jusuf Kalla. Pembangunan villa-villa mewah di kawasan Puncak yang kian menggila juga dituduh sebagai salah satu biang keladi banjir di Jakarta.
''Saya sudah berulang kali peringatkan, ini [pembangunan villa-villa yang tak terkendali di Puncak] bisa berdampak sangat luas,'' kata Menhut MS Kaban.
Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) sepanjang 23,7 kilometer dari Duren Sawit hingga ke Marunda berjalan amat lambat. Hingga kini tak lebih dari 8 kilometer yang mulai dibangun. Walau sudah direncanakan sejak zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, sampai saat ini pembebasan tanahnya pun belum sepenuhnya tuntas.
''Padahal kita siap memberi penggantian sesuai harga pasar. Artinya, masyarakat yang terkena gusur tak akan rugi,'' kata Menteri PU, Djoko Kirmanto. Uniknya, saat Pemprov DKI meminta izin untuk memakai dana APBD sebesar Rp600 miliar, DPRD minta angka itu dikurangi.
Padahal, peran BKT mengatasi banjir di Jakarta amat strategis. Setidaknya kanal itu bisa mengendalikan 25% tumpahan air bah yang akan menerjang Jakarta. Sampai di sini jelas, Pemprov DKI tak ingin disalahkan sendirian dalam musibah banjir yang kembali menyambangi Jakarta, meski peringatan tentang kemungkinan terjadinya banjir besar di Jakarta sudah kerap didengungkan banyak pihak.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), misalnya, jauh hari sebelumnya telah memprediksikan bakal terjadi hujan besar pada Februari-Maret 2007. Bahkan kira-kira seminggu sebelum banjir besar di Jakarta, BMG sempat melarang (khusus) Presiden SBY untuk terbang. Bahaya bagi Presiden, katanya, BMG memang tidak mengumumkan larang terbang ke bangsa Indonesia.
Dan, saat sejumlah daerah-termasuk Bekasi, yang notebene berada di pinggir Jakarta- mulai kebanjiran, Pemprov DKI dan warga Jakarta seakan cuek, tenang-tenang saja. Mereka tak melakukan persiapan apa pun untuk menyambut tamu yang tak pernah diundang itu.
Jadi pajangan
Bahkan, poster-poster 'Indonesia Terapung' yang terpampang di hampir seluruh penjuru kota seakan menjadi pajangan semata. Padahal, poster itu dipasang Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa selain untuk mengetuk nurani kita menyalurkan donasi ke warga yang terserang banjir di Aceh Tamiang, juga untuk mengingatkan kita, bukan tak mungkin suatu saat Jakarta juga bakal terlanda banjir.
Mungkin kata-kata 'Indonesia Terapung' saat ini dirasa cukup 'ngepop' bagi sebagian warga Jakarta, mungkin yang dibutuhkan warga Jakarta adalah kata-kata keras seperti 'Awas Banjir Besar!' atau entahlah.
Tak heran kalau Pemprov DKI dan warga Jakarta seperti terkaget-kaget saat banjir menyerbu Ibu Kota, Jumat (2 Feb.). Aksi evakuasi korban banjir dan penyaluran bantuan juga nyaris tak terkoordinasi dengan baik. Warga terpaksa harus berswadaya membangun tempat pengungsian dan dapur umum.
Evakuasi pun lebih banyak dilakukan relawan yang tak lain adalah warga setempat. Walau tampak ada personel TNI yang ikut membantu. Ini indikasi konkret kita memang tak siap menghadapi bencana alam.
Tak bisa dibayangkan dengan penanganan banjir yang seperti itu, bagaimana jika bencana yang lebih besar datang secara tiba-tiba. Amit-amit, tapi seperti gempa bumi besar, yang disertai tsunami, seperti di Aceh dan Yogya? Kita sama sekali tidak mengharapkan dan senantiasa berdoa agar Tuhan menghindarkan kita dari segala bencana. Namun sebagaimana layaknya sebuah ibukota negara, Jakarta harus tetap bersiap diri, agar korban dapat sebisa mungkin dihindari.
Perlu sekali lagi diingatkan bahwa Indonesia berada di Pacific Ring of Fire, karena berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif. Lempeng Indo-Australia yang mendesak ke timur laut dan utara, Lempeng Eurasia yang relatif statis tetapi bergerak ke arah tenggara, dan Lempeng Pasifik yang mendesak ke arah barat daya dan barat laut.
Indonesia sendiri terbentuk karena pergerakan besar lempeng-lempeng tersebut. Selama 30 ke depan Indonesia harus siap setiap saat berada dalam bahaya gempa bumi dan tsunami, tidak terkecuali DKI Jakarta (baca tulisan saya di BIM Agustus 2006).
Kita memang berharap berbagai bencana di Indonesia segera dapat berhenti. Sekali lagi, sebagai bangsa yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, adalah sangat urgent bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk segera melakukan doa nasional demi keselamatan Indonesia.
Memang, sejumlah ustadz yang didukung sejumlah lembaga swasta sudah melakukan zikir bersama, demikian juga dengan beberapa Gereja melakukan doa dan puasa. Namun, saya yakin kalau doa nasional ini dikomandani oleh Presiden SBY, dengan melibatkan seluruh bangsa dari semua agama di seluruh pelosok Indonesia, maka gerakan moral ini efeknya bisa lebih dahsyat.
Marilah kita berdoa bersama secara nasional, minta pengampunan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Kasih, demi keselamatan Indonesia. Pak SBY, ayo dong!
oleh : Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner Wiloto Corp. Asia Pacific
0 comments:
Post a Comment