Surono, Hidup dengan Gunung Api
Gunung api adalah salah satu elemen penting dalam pergulatan hidup Surono. Sebagai ilmuwan, pengamat, sekaligus pejabat publik, pergulatan itu dimaknai secara intens, tekun, dalam hubungan resiprokal, harmonis, sekaligus tidak konyol. "Saya siap hidup untuk menghadapi letusan gunung api," katanya.
Sebagai Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Surono adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam telaah kondisi kegunungapian di Tanah Air.
Maka, ketika sejumlah gunung api di Jawa dan Sulawesi—mulai dari Kelud, anak Krakatau, Guntur, hingga Soputan—menunjukkan peningkatan aktivitas, ia menjadi sosok sentral, terutama dalam penentuan status gunung-gunung itu. Hal itu sungguh tidak main-main karena menentukan mitigasi dan penyelamatan masyarakat sekitar gunung dari kemungkinan dampak letusan.
Mulai Oktober lalu dia "memindahkan" sementara kantor sekaligus rumahnya di Bandung ke Pos Pengamatan Gunung Api Kelud di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur, 7 kilometer dari puncak Gunung Kelud. Bersama sejumlah peneliti PVMBG, Surono memantau secara langsung perkembangan aktivitas Kelud detik per detik sepanjang hari, nyaris tanpa jeda. Di sela-sela itu, ia terbang ke kantornya di Bandung, melihat dari lebih dekat kondisi anak Krakatau dan Guntur.
"Mau dibilang capai ya capai, tidak ya tidak. Ini sudah tugas saya. Pemimpin itu arsitek dari semua unsur. Harus tahu proses, turun ke lapangan, tidak di belakang meja. Kesalahan penentuan status akan fatal akibatnya," kata Surono di sebuah rumah makan di Kota Kediri, Senin (5/11) malam.
Tempat pertemuan yang berjarak sekitar 35 kilometer arah barat laut Gunung Kelud itu ditentukan Surono sendiri semata-mata demi keselamatan. Itu sesuai dengan prinsip mitigasi yang dipegangnya, tidak ada toleransi apa pun demi keselamatan bersama (zero tolerance for a save life).
Keselamatan segala-galanya
Mitigasi demi keselamatan masyarakat luas itu harus ditempatkan di atas segala-galanya, termasuk keperluan riset pengetahuan, juga publisitas media. Namun, justru hal itu yang mengentakkan kesadaran sekaligus menimbulkan keprihatinan mendalam pada diri Surono. Ia mengaku sedih dan nelangsa karena acapkali masyarakat dan unsur pemerintah kurang memahaminya secara utuh.
Pertengahan Oktober lalu, misalnya, saat tiba-tiba Kelud mengalami krisis pascapenentuan status awas, dia mendapati sejumlah pekerja media masih berada di Pos Pengamatan Kelud di Sugihwaras. Ia langsung mengusir mereka dari pos. Maksudnya jelas, supaya mereka turun menyelamatkan diri dari kemungkinan letusan Kelud, yang menurut dia saat itu, akan terjadi dalam beberapa saat.
"Saya saat itu marah. Sebagian rekan-rekan Anda itu mengira saya main-main, atau semata-mata tidak mengizinkan mereka ke pos pengamatan. Jangankan mereka, saya pun membawa seluruh anak buah saya turun demi keselamatan kok," kata Surono dengan mimik muka serius.
Surono mengkritik liputan media yang tidak mendidik dan sembrono tentang Kelud. Misalnya, ketika ada liputan tentang kondisi sekitar danau kawah dari jarak dekat, padahal pihaknya sudah merekomendasikan ke pemerintah daerah setempat untuk melarang siapa pun mendekat ke kawasan itu.
Hal semacam itu, menurut Surono, adalah hal yang naif dan tidak bagus untuk pendidikan mitigasi bagi masyarakat luas. Apalagi sebelumnya ada dua pekerja media yang sempat pingsan menghirup gas beracun dari danau kawah Kelud.
Dari ratusan gunung di Indonesia, Gunung Galunggung dan Kelud merupakan dua gunung yang spesial bagi Surono. Kunjungannya ke Galunggung mengantar seorang profesor dari Amerika Serikat pada tahun 1982 membuatnya tertarik menekuni kegunungapian. Padahal, dia adalah seorang sarjana fisika dari Institut Teknologi Bandung. Itu di luar tren karena sebagian rekannya memilih bekerja di perusahaan minyak.
Sekali lagi, panggilan jiwa untuk berbuat sesuatu yang lebih berguna untuk orang lain lebih kuat menarik dirinya. Tahun itu juga ia diterima bekerja di lingkungan PVMBG (dulu Direktorat Vulkanologi). Ia pernah menjadi Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana Geologi, sebelum ditunjuk sebagai Kepala PVMBG pada tahun 2006.
Kelud selalu memberikan pelajaran-pelajaran baru bagi dirinya. Tesisnya pertengahan tahun 1990-an yang spesifik tentang penciptaan instrumen kondisi Kelud secara akustik diilhami dari peristiwa letusan gunung itu tahun 1990. Dan, termutakhir, tentu saja munculnya kubah lava baru di tengah danau kawah dan berubahnya sifat ekspolisivitas (selalu meletus dengan daya ledak dahsyat) gunung itu menjadi efusif atau meletus secara perlahan.
Ketakjuban Surono memuncak saat menyaksikan dua peristiwa itu secara langsung. Diceritakannya, ketika Kelud mengalami krisis kedua tanggal 3 November, yang ditandai dengan naiknya suhu air danau kawah mencapai 77 derajat Celsius dan gempa tremor melebihi skala yang dipakai (overscale), dia yakin akan ada letusan dahsyat di Kelud.
Maka, sekitar pukul 16.00 dia membawa semua peralatan dan anak buahnya turun dari pos pengamatan di Sugihwaras ke Kantor Kepolisian Sektor Ngancar, 15 km dari puncak Kelud. Namun, menjelang pukul 18.40, semua alat di sekitar kawah masih mengirimkan sinyal. Itu tandanya tidak ada kerusakan dengan alat-alat itu, menandakan tidak ada letusan besar. Ia semakin diliputi rasa penasaran dan memilih tidak tidur malam itu.
Sejarah baru
Pada Minggu (4/11) dini hari, sekitar pukul 02.00 ia mengajak anak buahnya kembali ke pos pengamatan. Ia mengamati puncak Kelud menggunakan kamera inframerah. Dirasakan adanya anomali panas.
Pukul 04.00 terlihat ada asap hitam menuju ke arah utara. Gunung Kelud tidak pernah melepaskan asap ketika meletus. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab ketika pada pukul 08.00 kamera closed circuit television (CCTV) mengabadikan adanya asap tebal berwarna putih dan material padat mengambang di permukaan danau kawah.
"Ini sejarah baru bagi Kelud. Efusivitas Kelud belum pernah terjadi sebelumnya. Catatan dunia tentang Kelud sebagai gunung dengan danau kawah mungkin saja terhapus. Bahkan, dimungkinkan bentuk Kelud akan kembali ke bentuknya 2.200 tahun silam, yakni strato mengerucut ke atas," kata Surono.
Akan tetapi, Surono menegaskan, aktivitas lanjutan Kelud harus tetap diwaspadai dengan dua skenario utama, yakni aktivitas gunung itu akan melemah dan kembali normal akibat tekanan gas yang semakin berkurang volume dan kekuatannya. Atau sebaliknya, akan terjadi letusan besar, bahkan dengan kemungkinan disertai awan panas, lontaran material pijar, serta abu dan debu vulkanik. Kemungkinan-kemungkinan itu masih sama besar karena gempa tremor masih terus terjadi secara fluktuatif. Status awas pun masih dipertahankan.
"Gunung api itu penuh dengan anomali. Proses saat ini tidak harus sama dengan masa lalu. Hasilnya juga tidak selalu sama. Jadi, episode Kelud ini belum akan berakhir," kata Surono.
BENNY DWI KOESTANTO dan IWAN SETYAWAN/KOMPAS
Sebagai Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Surono adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam telaah kondisi kegunungapian di Tanah Air.
Maka, ketika sejumlah gunung api di Jawa dan Sulawesi—mulai dari Kelud, anak Krakatau, Guntur, hingga Soputan—menunjukkan peningkatan aktivitas, ia menjadi sosok sentral, terutama dalam penentuan status gunung-gunung itu. Hal itu sungguh tidak main-main karena menentukan mitigasi dan penyelamatan masyarakat sekitar gunung dari kemungkinan dampak letusan.
Mulai Oktober lalu dia "memindahkan" sementara kantor sekaligus rumahnya di Bandung ke Pos Pengamatan Gunung Api Kelud di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur, 7 kilometer dari puncak Gunung Kelud. Bersama sejumlah peneliti PVMBG, Surono memantau secara langsung perkembangan aktivitas Kelud detik per detik sepanjang hari, nyaris tanpa jeda. Di sela-sela itu, ia terbang ke kantornya di Bandung, melihat dari lebih dekat kondisi anak Krakatau dan Guntur.
"Mau dibilang capai ya capai, tidak ya tidak. Ini sudah tugas saya. Pemimpin itu arsitek dari semua unsur. Harus tahu proses, turun ke lapangan, tidak di belakang meja. Kesalahan penentuan status akan fatal akibatnya," kata Surono di sebuah rumah makan di Kota Kediri, Senin (5/11) malam.
Tempat pertemuan yang berjarak sekitar 35 kilometer arah barat laut Gunung Kelud itu ditentukan Surono sendiri semata-mata demi keselamatan. Itu sesuai dengan prinsip mitigasi yang dipegangnya, tidak ada toleransi apa pun demi keselamatan bersama (zero tolerance for a save life).
Keselamatan segala-galanya
Mitigasi demi keselamatan masyarakat luas itu harus ditempatkan di atas segala-galanya, termasuk keperluan riset pengetahuan, juga publisitas media. Namun, justru hal itu yang mengentakkan kesadaran sekaligus menimbulkan keprihatinan mendalam pada diri Surono. Ia mengaku sedih dan nelangsa karena acapkali masyarakat dan unsur pemerintah kurang memahaminya secara utuh.
Pertengahan Oktober lalu, misalnya, saat tiba-tiba Kelud mengalami krisis pascapenentuan status awas, dia mendapati sejumlah pekerja media masih berada di Pos Pengamatan Kelud di Sugihwaras. Ia langsung mengusir mereka dari pos. Maksudnya jelas, supaya mereka turun menyelamatkan diri dari kemungkinan letusan Kelud, yang menurut dia saat itu, akan terjadi dalam beberapa saat.
"Saya saat itu marah. Sebagian rekan-rekan Anda itu mengira saya main-main, atau semata-mata tidak mengizinkan mereka ke pos pengamatan. Jangankan mereka, saya pun membawa seluruh anak buah saya turun demi keselamatan kok," kata Surono dengan mimik muka serius.
Surono mengkritik liputan media yang tidak mendidik dan sembrono tentang Kelud. Misalnya, ketika ada liputan tentang kondisi sekitar danau kawah dari jarak dekat, padahal pihaknya sudah merekomendasikan ke pemerintah daerah setempat untuk melarang siapa pun mendekat ke kawasan itu.
Hal semacam itu, menurut Surono, adalah hal yang naif dan tidak bagus untuk pendidikan mitigasi bagi masyarakat luas. Apalagi sebelumnya ada dua pekerja media yang sempat pingsan menghirup gas beracun dari danau kawah Kelud.
Dari ratusan gunung di Indonesia, Gunung Galunggung dan Kelud merupakan dua gunung yang spesial bagi Surono. Kunjungannya ke Galunggung mengantar seorang profesor dari Amerika Serikat pada tahun 1982 membuatnya tertarik menekuni kegunungapian. Padahal, dia adalah seorang sarjana fisika dari Institut Teknologi Bandung. Itu di luar tren karena sebagian rekannya memilih bekerja di perusahaan minyak.
Sekali lagi, panggilan jiwa untuk berbuat sesuatu yang lebih berguna untuk orang lain lebih kuat menarik dirinya. Tahun itu juga ia diterima bekerja di lingkungan PVMBG (dulu Direktorat Vulkanologi). Ia pernah menjadi Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana Geologi, sebelum ditunjuk sebagai Kepala PVMBG pada tahun 2006.
Kelud selalu memberikan pelajaran-pelajaran baru bagi dirinya. Tesisnya pertengahan tahun 1990-an yang spesifik tentang penciptaan instrumen kondisi Kelud secara akustik diilhami dari peristiwa letusan gunung itu tahun 1990. Dan, termutakhir, tentu saja munculnya kubah lava baru di tengah danau kawah dan berubahnya sifat ekspolisivitas (selalu meletus dengan daya ledak dahsyat) gunung itu menjadi efusif atau meletus secara perlahan.
Ketakjuban Surono memuncak saat menyaksikan dua peristiwa itu secara langsung. Diceritakannya, ketika Kelud mengalami krisis kedua tanggal 3 November, yang ditandai dengan naiknya suhu air danau kawah mencapai 77 derajat Celsius dan gempa tremor melebihi skala yang dipakai (overscale), dia yakin akan ada letusan dahsyat di Kelud.
Maka, sekitar pukul 16.00 dia membawa semua peralatan dan anak buahnya turun dari pos pengamatan di Sugihwaras ke Kantor Kepolisian Sektor Ngancar, 15 km dari puncak Kelud. Namun, menjelang pukul 18.40, semua alat di sekitar kawah masih mengirimkan sinyal. Itu tandanya tidak ada kerusakan dengan alat-alat itu, menandakan tidak ada letusan besar. Ia semakin diliputi rasa penasaran dan memilih tidak tidur malam itu.
Sejarah baru
Pada Minggu (4/11) dini hari, sekitar pukul 02.00 ia mengajak anak buahnya kembali ke pos pengamatan. Ia mengamati puncak Kelud menggunakan kamera inframerah. Dirasakan adanya anomali panas.
Pukul 04.00 terlihat ada asap hitam menuju ke arah utara. Gunung Kelud tidak pernah melepaskan asap ketika meletus. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab ketika pada pukul 08.00 kamera closed circuit television (CCTV) mengabadikan adanya asap tebal berwarna putih dan material padat mengambang di permukaan danau kawah.
"Ini sejarah baru bagi Kelud. Efusivitas Kelud belum pernah terjadi sebelumnya. Catatan dunia tentang Kelud sebagai gunung dengan danau kawah mungkin saja terhapus. Bahkan, dimungkinkan bentuk Kelud akan kembali ke bentuknya 2.200 tahun silam, yakni strato mengerucut ke atas," kata Surono.
Akan tetapi, Surono menegaskan, aktivitas lanjutan Kelud harus tetap diwaspadai dengan dua skenario utama, yakni aktivitas gunung itu akan melemah dan kembali normal akibat tekanan gas yang semakin berkurang volume dan kekuatannya. Atau sebaliknya, akan terjadi letusan besar, bahkan dengan kemungkinan disertai awan panas, lontaran material pijar, serta abu dan debu vulkanik. Kemungkinan-kemungkinan itu masih sama besar karena gempa tremor masih terus terjadi secara fluktuatif. Status awas pun masih dipertahankan.
"Gunung api itu penuh dengan anomali. Proses saat ini tidak harus sama dengan masa lalu. Hasilnya juga tidak selalu sama. Jadi, episode Kelud ini belum akan berakhir," kata Surono.
BENNY DWI KOESTANTO dan IWAN SETYAWAN/KOMPAS
0 comments:
Post a Comment