Curahan Hati Anak Negeri
Di bulan yang bersejarah ini, kala sang saka merah - putih menghiasi angkasa di seluruh rangkaian Zamrud Katulistiwa. Berkibar di gedung – gedung yang menjulang tinggi sampai rumah – rumah petak yang berdesakan, dari kota metropolitan sampai dusun – dusun terpencil di seluruh kepulauan Nusantara. Masihkah kita memaknai pesan dan teladan para pejuang dan bapak bangsa yang telah berkorban untuk mengantar kita ke alam merdeka?
Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang cukup lama bagi detak jantung anak manusia bekerja untuk meneruskan denyut kehidupannya. Namun mestinya tidak untuk generasi suatu bangsa untuk begitu saja melupakan teladan yang telah dicontohkan para pendahulunya. Sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya. Teladan mulia tinggal menjadi slogan semata.
Mental mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya nyatanya makin merajalela saja, tercermin dengan sukses terwujudnya 34 (tigapuluh empat) partai yang kelak akan bertarung di arena perebutan kekuasaan di atas sana.
Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang cukup lama bagi detak jantung anak manusia bekerja untuk meneruskan denyut kehidupannya. Namun mestinya tidak untuk generasi suatu bangsa untuk begitu saja melupakan teladan yang telah dicontohkan para pendahulunya. Sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya. Teladan mulia tinggal menjadi slogan semata.
Mental mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya nyatanya makin merajalela saja, tercermin dengan sukses terwujudnya 34 (tigapuluh empat) partai yang kelak akan bertarung di arena perebutan kekuasaan di atas sana.
Tidak peduli menambah pusing warga yang sehari – hari sudah susah hidupnya. Tidak peduli menjadi bahan tertawaan dan ejekan bangsa – bangsa lain di belakang punggung kita. Yang penting istri/ suami dan putra – putri tercinta bisa melenggang penuh gengsi, menghamburkan dollar di butik – butik mewah di pusat – pusat mode dunia, Paris, Milan, London, NY,Tokyo.
Rintihan bayi - bayi malang di gubuk – gubuk berlampu temaram yang semakin melemah karena cairan kehidupan dari ibunya semakin mengering, siapa peduli? Jangan dikira kepedihan ini hanya terjadi di pulau – pulau terpencil yang jauh dari ibukota negeri. Tak disangka juga melela di tempat – tempat yang ibarat beranda Indonesia, pusat segala kemewahan tergelar manja.
Sekian dasawarsa yang lalu kita belum punya gedung – gedung tinggi, kata conglomerate belum dikenal di negeri ini, lumpur Lapindo belum dimuntahkan dari perut bumi. Namun kenapa kalau kita sedang di luar negeri, bangsa – bangsa lainnya, Asia - Afrika umumnya, ramah menyapa karena mereka mengenali pemimpin kita? Yang dihormati bukan karena real estatenya yang luas tak terbatas bukan pula karena depositonya di bank – bank di Swiss sana. Melainkan karena integritas serta charisma dan aura yang terpancar dari pribadinya serta kiprahnya yang dikenal sampai mancanegara antara lain sebagai salah satu penggagas konferensi Asia – Afrika.
Kini kita “punya segalanya”, gedung – gedung tinggi yang kokoh membisu enggan menyapa rakyat jelata, conglomerate yang kiprahnya tiap hari mengisi Koran – Koran berita, lumpur Lapindo yang mengalir lambat tapi pasti, membuat benci warga yang harus mengungsi. Tapi kenapa o kenapa nama Indonesia terdongkrak bukan karena berita prestasi melainkan karena duka dalam Ibu Pertiwi, saudara – saudara kita di Aceh yang pasti karena hantaman bencana bernama Tsunami?.
Sudah begitu berubahkah watak dan budaya bangsa Indonesia yang adiluhung berganti dengan budaya rakus miskin esensi. Mendongkrak citra pribadi tidak dengan kerja keras dan meningkatkan kemampuan diri melainkan lewat pamer gebyar kemewahan, tanpa peduli itu semua didapat dengan menggerogoti bangsa sendiri.
Apakah kita terjebak “curse” orang kaya yang mendapat harta dari warisan kemurahan alam semata, yang menjadi manja dan kurang usaha?, Yang kalah bertanding melawan mereka - mereka yang berasal dari kaum dhuafa yang menang karena kerja keras, kejujuran dan kedisiplinannya?
Alam begitu bermurah kepada kita, menganugerahi modal berlimpah untuk dengan mudah menyalip kemajuan bangsa – bangsa lainnya.
Namun kenapa Negara – Negara tetangga yang luas wilayahnya hanya sebesar serambi kita, yang kekayaan alam dan budayanya,aaaah .. malulah awak untuk membandingkannya, nyatanya menjadi tujuan rakyat Indonesia yang putus asa di negerinya sendiri untuk menyambung hayat hidupnya?
Tidak tahukah kita mengapa tetangga serumpun menatap kita pemilik untaian zamrud di katulistiwa yang jelita ini dengan rasa sebal sekaligus iri dan dengki?
Dengan airliur menetes berkhayal seandainya Nusantara adalah negerinya. Akan diubahnya lembah - lembah, gunung - gunung dan sungai – sungainya menjadi tempat bak surga, impian wisatawan seluruh dunia untuk bercengkerama. Garis pantai yang tak terkira panjangnya, alam bawah laut yang tak terperi keindahannya, ooh kenapa tersia – sia. Kejayaan bahari yang pernah diukir nenek – moyang yang kini tinggal kenangan dibangkitkannya kembali menjadi kebanggaan anak negeri. Kapal – kapal pesiar mondar – mandir di perairan Nusantara membawa para wisatawan yang terkagum – kagum, tidak sabar menunggu sensasi apa lagi yang akan tergelar di persinggahan terkini.
Dengan kekayaan alam yang terkandung di bumi, hutan belantara yang menyimpan flora dan fauna yang selalu menjadi bahan iri, dan yang terpenting manusia Indonesia yang terajut dari berbagai suku bangsa yang memberi nuansa kaya berwarna – warni, yang pandai, berjiwa seni, kreatif. Adakah lagi kendala yang akan menghalangi Negeri untuk melesat menjadi macan kekuatan Asia? Yang aumannya akan diwaspadai dan diperhitungkan bangsa – bangsa lainnya?
Sayang semua itu hanyalah khayalan tetangga serumpun dengan mata hijau menyala – nyala..
Sudah semestinya kita menghormati dan bersikap santun kepada tamu – tamu manca yang beranjangsana untuk mengagumi keindahan negeri kita. Namun jangan sekali – kali dengan cara ”mengkelasduakan” warga sendiri. Apakah kisah diskriminasi berikut ini memang pernah terjadi, direndahkan justru oleh bangsa sendiri?
Hampir enam tahun yl, warga kepulauan Nusantara berduka karena luka menganga yang masih terasa nyerinya. Pulau Dewata, wisata andalan bangsa yang mampu mendongkrak nama Indonesia di luar sana terguncang hebat sendi – sendi kehidupannya, yang dalam sekejap berubah menjadi neraka karena ulah sekelompok manusia tak berhati dan miskin toleransi. Kita sedih, pilu sekaligus malu kepada tetangga di selatan katulistiwa yang warganya paling banyak terkena.
Terselip di antara berlembar – lembar berita yang berkisah tentang kronologi goncangan jahanam yang membuarkan tragedy, terbaca sebaris catatan yang nampak tidak berarti. Namun setelah dicermati, oooh, .. bak belati menghunjam di ulu hati.
Mengapa di tanah merdeka ini anak negeri didiskriminasi bangsa sendiri? Mengapa sampai ada kedai kopi dan warung nasi yang hanya membuka pintunya bagi warga – warga mancanegara, bule – bule terutama?. Kami anak negeri hanya diterima setengah hati karena kebetulan terlanjur berdiri mendampingi sang customer sejati yang dipuja - puji. Sudah semiskin itukah hati sebagian warga ini yang rela mencampakkan harkat bangsanya demi lembar – lembar dollar yang baginya paling berarti?
Tak pernahkah mereka membaca sejarah negeri ini? Tak tahukah bahwa di suatu masa dulu bumi ibu pertiwi basah oleh cucuran darah dan airmata para pejuang yang rela meregang nyawa untuk membebaskan bangsa ini agar berdiri sama tinggi dengan bangsa – bangsa lainnya di muka bumi? Tak pernahkah mendengar riwayat para bapak bangsa yang terluka nuraninya menyaksikan kamar bola ( billiard) dan tempat – tempat dansa di bumi persada ini hanya sah dimasuki noni – noni, nyonya – nyonya dan tuan – tuan besar Belanda semata? Yang membuat mereka semakin termotivasi untuk cepat – cepat mengenyahkan penjajah bangsa manca dari muka bumi Nusantara?
Anak negeri yang menyambung hidup di seberang lautan sana tak tahu pasti kebenaran berita ini. Karena sudah sekian lama tidak menginjak Tanah Bali. Diam – diam dalam hati terucap doa semoga warta tersebut kurang akurat adanya. Semoga senyatanya tak pernah ada diskriminasi di negeri yang berazas Pancasila ini.
Namun seandainya ada kebenarannya, sekecil zarah sekalipun, semoga tak akan pernah terulang lagi. Semoga pengawal intelektual bangsa ini segera mengkoreksi. Jangan menutup mata pada tindakan semena – mena. Jangan bangga diri kalau kebetulan cukup beruntung bisa ikut masuk ke kedai kopi dan warung nasi yang rasis terhadap bangsa sendiri.
Warga penghuni untaian indah zamrud di katulistiwa ini juga dikenal mudah berempati. Sikap welas asih yang sudah menjadi bagian dari jati diri. Tercenung sampai berhari – hari, berdiskusi panjang lebar tentang warga yang dihukum tembak mati karena pernah berbuat keji.
Lain kali sisihkan empati lebih banyak lagi untuk anak bangsa yang tak pernah menyakiti. Yang nasib menggariskannya untuk melihat terangnya matahari pertama kali di pondok - pondok pengap miskin ventilasi. Yang ingin berkata “Mak aku haus dan lapar”. Namun apa daya menagispun sudah tak kuasa. Perut membusung bukan tanda kebanyakan bubur susu nan bergizi, melainkan tanda – tanda akut miskinnya asupan sumber protein dan energi.
Kehidupan singkat yang hanya terisi oleh siksa rasa sakit yang tak terperi, Rasa sakit yang sejatinya gampang sekali diobati. Namun apa daya, botol – botol susu berjejer rapi di pasar swalayan tak termimpi untuk bisa dibeli. Dalam sunyi tanpa diiringi berita – berita gempar dan kata – kata perpisahan yang mengharukan penuh simpati yang dimuat di Koran – Koran dan disiarkan televisi, pergilah insan – insan mungil ini meninggalkan dunia fana yang hanya menyuguhkan warna duka.
Ooo .. anak – anak jalanan yang malang, ragamu masih terlalu ringkih menanggung beban berat tak terperi. Jiwamu masih terlalu lemah untuk mengerti muslihat manusia – manusia durjana yang mau mencelakakanmu. Semoga dirahmatiNya para warga berhati mulia yang ikhlas mengulurkan tangan untuk meringankan beban deritamu..
Pak Polan, engkau sudah terlalu lelah berjalan seharian di bawah teriknya matahari, membawa beban di pikulan menyusuri gang – gang dan kompleks perumahan. Namun apa daya belum ada satupun dagangan yang dibeli. Perut keroncongan, sementara aroma luar biasa harumnya menggoda menyembur dari waralaba Tempat warga makan siang sambil bercanda. Tempat sepasang kolega yang sedang berTTM ria bisik – bisik cekikikan di sudut ruang asri yang berpendingin AC.
Namun engkau tak menghiraukannya, karena engkau sudah biasa menderita. Yang ada di pikiranmu hanyalah anak istrimu, Yang menunggumu di pondok reyot berdinding bamboo, tanpa sekepalpun nasi tersisa di kuali. Duduk termangu di bawah pohon jambu, tanpa sepeserpun uang di saku, engkau ragu kemana kaki akan membawamu. Gedung – gedung tinggi di kejauhan tegak membisu, suara mobil – mobil menderu – deru, tak sabar ingin sampai ke tujuan tertentu. Masih adakah tempat bagiku, itu pikirmu. “Maafkan aku” katamu lirih tercekat di tenggorokan. “Bukan aku tak mencintaimu, bukan pula mengelak dari tanggungjawabku, …” tak kuat engkau meneruskan kata - katamu. Gedung – gedung tinggi semakin memucat jadi bayang – baya kelabu, deru mobil – mobil berganti dengan kesenyapan, yang hanya diusik oleh semilirnya angin yang mengiringimu pergi, pergi jauuuuuh ke tempat yang kau tak tahu pasti.
Bordosakah pak Polan? Kita manusia biasa tak bisa menduga. Nanti pengadilan Maha Tinggi yang akan meneliti. Namun di pengadilan di dunia fana ini Pak Polan hanyalah satu di antara jutaan korban salah urus negeri ini. Merekalah, manusia – manusia tanpa hati, menggerogoti bangsa sendiri yang seharusnya duduk di kursi terdakwa yang sudah lama menanti.
Wahai para petinggi, tak sadarkah engkau apa yang terjadi pada warga yang mestinya kau ayomi. Bisakah engkau terlelap meski di kamar beraroma wangi berpendingin AC sementara banyak warga tak bisa nyenyak karena perut kosong yang seharian belum terisi? Bisakah kau nikmati santapan–santapan gourmet, impor asli dari Itali, kalau masih banyak insan – insan mungil dengan tangan – tangan tirus – nya mengorek – ngorek, kalau – kalau ada sesuatu untuk menyambung hari itu?.
Jangan kecewakan warga yang telah memberimu mandate untuk memimpin negeri ini. Junjung tinggi – tinggi mandate ini sebagai tugas suci yang akan membuatmu bangga kalau engkau bisa memenuhi. Tanamkan dalam diri bahwa pakaian terindah bagi petinggi bukan jubah mewah bersulam mutu manikam melain label suksesmu memimpin, melindungi dan mensejahterakan bangsa ini yang akan terpateri di hati setiap anak negeri.
Teladanilah pekerti satria yang diwariskan bapak bangsa ini. Berkorban, berkarya dan berbakti untuk mengayomi dan mensejahterakan warga RI. Bukan berbangga diri karena gemerlap materi yang sejatinya tidak berhak kau miliki. Pribadi dangkal miskin esensi tak layak menjadi pemimpin negeri.
Buatlah pesta, hajatan, kenduri atau apa saja dengan semeriah – meriahnya namun dengan biaya paling mini. Karena semua dari hasil kreasi dan cita rasa seni andalan anak bangsa sendiri. Bukan impor dari luar negeri. Pamerkan kepada para diplomat mancanegara keagungan karya putra – putri Ibu Pertiwi. Tenun Ulos, batik Sasirangan, tenunan Palembang, sutra Makassar, motif Asmat dan masih banyak lagi. Niscaya warga negeri yang baik hati ini akan dengan bangga mengikutinya. Hemat, murah namun indah bercita - rasa seni. Sehingga tersimpan dana untuk hal – hal yang lebih penting lagi.
Kalau sedang konferensi di luar negeri apalagi untuk negosiasi utang RI, jagalah citra bangsa dengan tidak pamer kemewahan hasil pinjaman luar negeri. Sikap lugas apa adanya lebih terpuji dan dihormati.
Baru bangga kalau semua anak negeri sudah mampu sekolah bahkan sampai tinggi - tinggi. Jangan pupuskan harapan mereka, semata karena tak mampu bayar sekolah lagi. Masa depan macam apa yang bisa kita harapkan kalau pandidikan menjadi barang mewah untuk mayoritas anak negeri.
Jangan sampai RI dimonopoli dinasti yang karena besarnya pundi – pundi yang didapat dari sumber – sumber yang tidak bisa dilegitimasi bisa mengabang – ijokan (memerah – hijaukan) nasib negeri ini.
Selebriti yang ingin ikut – ikut mengatur negeri, mencalonkan diri jadi bupati, walikota, gubernur dan caleg – caleg warga ini, … apa yang kau cari? Apakah engkau merasa sebagai manusia – manusia super yang tidak perlu berguru ilmu dan baca buku untuk putar haluan ke bidang – bidang baru? Kenapa justru tidak kau asah kemampuan akting dan visi artistikmu sehingga mampu bersaing dengan counterpart - mu di mancanegara sana, Hollywood, Bollywood atau apa saja dan go international istilahnya?? Dengan ketenaran dan materimu, kenapa tidak kau sponsori generasi muda bangsamu yang punya integritas, mumpuni (mampu), jujur dan punya kecintaan yang dalam pada bangsa ini agar bisa maju menjadi pemimpim – pemimpin negeri ini? Ada seribu satu cara untuk mengabdi tanpa harus kehilangan rasa rendah hati.
Putra – putri Ibu Pertiwi marilah bersatu bangkit berjuang untuk kejayaan negeri. Bersatu katalah menghadapi orang luar negeri. Namun ke dalam di antara kita sendiri, jangan ragu saling koreksi. Jangan gampang mengecam warga yang mengkritisi negeri sendiri. Berdiskusilah kalau perlu sampai pagi. Namun dengan satu tujuan, untuk kemajuan bangsa dan negeri ini.
Jangan pernah lagi alergi untuk belajar dari bangsa – bangsa manca yang terbukti sukses mensejahterakan seluruh anak negerinya. Bangsa – bangsa yang mandiri, tidak bergantung pada pinjaman luar negeri. Jangan hanya nyaman mencari – cari kesalahan dan, mengkritik habis - habisan. Buanglah hal – hal yang negative dan adopsilah kebiasaan – kebiasaan mereka yang positif.
Tak tahukah bahwa kongsi – kongsi besar rela membayar jutaan dollar untuk mencuri kunci sukses kongsi – kongsi saingannya?. Mengapa pelajaran gratis yang tergelar di depan mata, kita tak menghiraukannya? Rahasia sukses Negara – Negara manca yang bisa kita dapat Cuma – Cuma, mengapa kita
lewatkan begitu saja?
Kalau setiap insan di Bumi Persada ini dengan suka – cita rela untuk mendahulukan kepentingan negeri, kontribusi besar kecil sesuai kemampuan diri, kerja keras, disiplin, jujur dan mentaati undang – undang sepenuh hati, oooooh , .. betapa indahnya hidup di Rangkaian Zamrud Di Katulistiwa yang jelita ini. Dengan kepala tegak kita mampu menatap dunia tanpa rasa kecil diri.
Di akhir curhat ini, ada kisah yang layak kita cermati. Yang mbak Astuti dan teman – temannya yang sedang berguru di negeri samurai dan bunga seruni ini barangkali familiar dengan situasi ini. Orang muda ini berprofesi sebagai peneliti, tiap weekend hura – hura sebagaimana layaknya orang seumurnya. Namun tahukah apa jawabannya kala ditanya kenapa orang Jepang tidak sudi berulah seperti mereka (orang asing terutama kelompok tertentu, waktu itu) yang suka mengakali kartu telefon (dulu belum ada cell phone), juga menyiasati karcis kereta? Katanya tindakan merusak dan merugikan kepentingan umum seperti ini lebih berbahaya daripada membunuh. Lho kok bisa? Warga kita katanya taat agamanya dimana membunuh adalah sangat dosa. Namun cobalah menganalisa, moga – moga bisa menemukan logika kata – katanya.
JAYALAH INDONESIA !
Rum - Amerika
Sumber: Koki
Jaringan BLoGGER
0 comments:
Post a Comment