LBH Pers Mengecam Keras Kriminalisasi Pers di Makassar
Kriminalisasi terhadap jurnalis kembali terjadi, kali ini yang menjadi korban adalah Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, Upi Asmaradhana. Yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan fitnah dan penghinaan terhadap Kepala Kepolisan Daerah Sulawesi Selatan dan Barat.
Upi Asmaradhana sudah menerima surat panggilan untuk diperiksa sebagai tersangka dugaan fitnah dan penghinaan terhadap Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar), Senin (10/11). Dimana pemanggilan tersebut terkait aktivitasnya sebagai Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar. Selaku Koordinator Koalisi, Upi beberapa kali mengkritik pernyataan Kepala Polda Sulselbar Irjen Sisno Adiwinoto terkait penggunaan hak jawab. Koalisi mengkritik Sisno yang berpendapat, pemidanaan wartawan bisa dilakukan meski pihak yang dirugikan belum menggunakan hak jawab. Upi Asmaradhana dikenakan Pasal 317 Ayat 1, 311 Ayat 1 dan pasal 207 KUHP.
Upi Asmaradhana sudah menerima surat panggilan untuk diperiksa sebagai tersangka dugaan fitnah dan penghinaan terhadap Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar), Senin (10/11). Dimana pemanggilan tersebut terkait aktivitasnya sebagai Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar. Selaku Koordinator Koalisi, Upi beberapa kali mengkritik pernyataan Kepala Polda Sulselbar Irjen Sisno Adiwinoto terkait penggunaan hak jawab. Koalisi mengkritik Sisno yang berpendapat, pemidanaan wartawan bisa dilakukan meski pihak yang dirugikan belum menggunakan hak jawab. Upi Asmaradhana dikenakan Pasal 317 Ayat 1, 311 Ayat 1 dan pasal 207 KUHP.
Selain Upi, Polda Sulselbar juga memanggil tiga wartawan harian Fajar yang mempublikasikan kritik Upi. Mereka adalah Silahuddin Genda, Herwin Bahar, dan Muchlis Amans Hadi yang ditetapkan sebagai saksi dalam kasus yang dialami oleh Upi Asmaradhana.
Melihat kejadian di Makassar , mengingatkan kita pada zaman Orde Baru dimana kriminalisasi terhadap perbuatan yang menyerang kehormatan dan reputasi tersebut menjadi senjata ampuh dalam menghadapi kebebasan berbicara atau kebebasan pers.
Walaupun pasca reformasi telah melahirkan UU Pers No.40 Tahun 1999 ternyata belum dapat memberikan kebebasan sepenuhnya kepada seluruh rakyat khususnya pers untuk berbicara, berekspresi dan berpendapat, karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan modifiksi dari Wetboek van Straftrecht voor Netherlandsch Indie (WvSNI) peninggalan Hindia-Belanda masih banyak sekali membatasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi termasuk pers.
Pasal-pasal karet KUHP seperti Pasal 207, 208, 310, 311, 316 dan 317 KUHPid masih menjadi penghalang dalam membangun keterbukaan dan demokratisasi di Indonesia, bahkan menimbulkan efek menakutkan (chilling effect) bagi masyarakat untuk berpendapat.
Padahal penyelesaian atas sengketa pers telah diatur oleh UU Pers, melalui hak jawab dan hak koreksi. Demikian pula bila terjadi kekeliruan dalam pemberitaan maka dapat meminta Dewan Pers untuk memediasi.
Bahwa atas hal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) dengan ini secara tegas menyatakan:
1) Mengecam segala bentuk kriminalisasi terhadap pers
2) Mengecam terhadap segala upaya untuk membungkam kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat baik secara lisan maupun tulisan
3) Mengecam setiap pelaku yang berupaya membungkam kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat baik secara lisan maupun tulisan
4) Menghimbau seluruh masyarakat untuk tidak takut untuk bebas berekspresi, berpendapat, menyampaikan pikiran baik secara lisan maupun tulisan
5) Menghimbau kepada seluruh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pers menggunakan UU Pers bukan menggunakan KUHP.
Jakarta, 11 November 2008
Atas Nama LBH Pers
Hendayana, S.H.
Direktur Eksekutif
0 comments:
Post a Comment