SEARCH PKS post

4/26/2007

Perempuan-perempuan Kereta

Awal Maret 2007.
Siang itu terik matahari menyinari Bogor, kota yang sehari-hari diguyur hujan. Maryanah dan lima temannya berteduh di bawah pohon belimbing, di sisi peron depo Stasiun Kereta Api Bogor. Mereka menunggu kereta listrik datang dari Jakarta untuk dibersihkan. Sembari menunggu, perempuan menjelang 50 tahun itu bercengkerama dengan rekan-rekan kerjanya. Mereka menyantap buah belimbing yang jatuh dari pohon itu.
Seperti biasa, rangkaian kereta yang harus mereka bersihkan datang terlambat. Setelah hampir tiga jam menanti, di ujung lintasan muncul lokomotif memasuki depo. Maryanah menarik nafas lega. Segera ia dan rekan-rekannya menyingsingkan lengan baju. Sapu, sikat, dan ember segera mereka sambar. Pekerjaan siap dimulai.

Dengan cekatan tangan keriput Maryanah menggosok atap dan dinding gerbong yang penuh gambar tempel dan coretan. Perempuan bertubuh sedang itu naik turun bangku untuk menggapai gambar tempel yang mengotori gerbong. Kadang ia harus bergelantungan. Satu kakinya bertumpu pada bangku, dan satu tangan berpengangan tiang. Dalam hitungan menit, nafasnya mulai terengah-engah.

Lebih dari dua jam Maryanah dan lima rekannya menyiram, menyikat, menggosok, dan mengelap bagian dalam gerbong kereta listrik kelas ekonomi itu. Seluruh bagian gerbong tak luput dari jamahan tangan mereka. Gerbong kereta yang harus mereka bersihkan siang itu luar biasa kotor. Mulai dari lantai gerbong yang penuh sampah dan jejak alas kaki hingga dinding yang penuh gambar tempel promosi.

Membersihkan gerbong kereta listrik tak hanya berat, tapi juga penuh risiko. Jika tidak hati-hati, mereka bisa tersengat listrik. Karena itu Maryanah selalu memastikan mesin dan aliran listrik kereta sudah padam sebelum membanjiri gerbong dengan air. Namun, terkadang masinis lupa mematikan mesin kereta sebelum meninggalkannya di depo.

“Waswas, soalnya kalau kita kesetrum kan mati semua,” kata Maryanah.

Maryanah mengantongi Rp 5.000 untuk kerja setengah hari. "Sebenarnya nggak sebanding. Sekarang upah lima ribu perak, sedangkan beras seliter saja sudah lima ribu perak,” tambahnya.

Agar dapur tetap ngebul, ibu tiga anak ini harus memutar otak untuk membelanjakan uangnya. Ia tak ingin anak bungsunya yang masih duduk di kelas III SMK putus sekolah menyusul dua kakaknya.

Untuk menghemat, warga Bojong Jengkol, Cilebut, Bogor, ini setiap hari berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju Stasiun Cilebut. Dari sana ia menumpang gratis kereta listrik menuju Stasiun Bogor. Maryanah juga membawa bekal makan siang dan air minum dari rumah.

Maryanah sudah menjalani profesinya sepuluh tahun. Mulanya ia mencuci kereta hanya pada malam hari. Dini hari dia pulang dengan upah Rp 2.500. Suaminya yang bekerja sebagai tukang ojek hanya mampu mengumpulkan Rp 20.000 per hari.

Kerja malam membuat para tetangga bergunjing dan menuduhnya nyambi sebagai pekerja seks komersial. Namun ia tak peduli. Yang penting ia bisa membeli beras. ”Kebanyakan orang bilang ini-lah, itu-lah. Walaupun kerja malam, kita tetap saja kerja, nggak melakukan hal yang negatif,” ujarnya.

Rambutnya makin memutih. Kulitnya makin keriput. Ototnya makin lemah. Maryanah kian sering sakit-sakitan. Jika terkena udara dingin, tangan dan kakinya pegal-pegal. Bahkan, tak jarang tangannya mati rasa, tak bisa digerakkan sama sekali.

Maryanah dan rekan-rekannya lalu meminta jam kerja siang hari. Namun permintaan itu tidak dikabulkan atasannya. Maryanah dan teman-temannya pun mogok kerja. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan. Sejak dua tahun lalu Maryanah bekerja siang hari.

Kini beban hidup Maryanah semakin berat. Sudah beberapa bulan terakhir ini suaminya tidak lagi ngojek karena sakit. Kata dokter, suaminya kena radang paru-paru, akibat angin malam yang menerpa dadanya saat ngojek.

Walau biaya pengobatan suaminya cuma-cuma berkat kartu Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin, toh ongkos menuju rumah sakit di Cisarua, Jawa Barat, cukup mahal untuk kantong Maryanah. Pemasukan keluarganya pun turun drastis. Sepeda motor tua yang biasa digunakan suaminya untuk mencari nafkah telah digadaikan Rp 1,2 juta.

“Apa saja yang ada saya jual,” katanya. “Yang penting mah di rumah ada uang belanja dan untuk sekolah anak.”

Beban sama berat ditanggung Rustini, 35 tahun. Sudah setahun perempuan ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Suaminya tidak lagi bisa bekerja karena kakinya patah tertabrak mobil. Sang suami tak lagi bisa bekerja sebagai buruh tani atau menggembala kambing.

Erwin, anak sulung Rustini, terpaksa meninggalkan bangku kelas III sekolah menengah kejuruan. Walau Erwin mendapat beasiswa penuh, Rustini tak mampu membiaya ongkos ke sekolah Rp 5.000 sehari. “Buat makan tiap hari saja bingung. Nggak sanggup!” ujarnya sambil mengusap air mata.

Anak keduanya, Eneng, juga terancam putus sekolah, walau mendapat gelar siswi SMP berprestasi. Rustini tak mampu membayar biaya ujian Eneng. Semua barang di rumahnya sudah habis terjual. Anak sulungnya yang merintis usaha pembibitan pohon belum dapat diandalkan untuk membantu ekonomi keluarga.

“Sekarang bayar ujian Rp 370.000. Belum keliatan duitnya dari mana. Padahal, harus lunas tanggal 15 Maret,” kata Rustini. “Pengennya sih sekolah diterusin, tapi kayaknya nggak sanggup.”

Mata Rustini menerawang. “Sayang, pada putus sekolah. Tapi duitnya memang nggak ada. Terpaksa. Mau nyari bantuan, ke mana? Sedih, sih sedih! Tapi apa boleh buat, nggak ada ongkos.”

Penghasilan yang hanya Rp 5.000 sehari jelas tidak cukup untuk membiayai keluarganya. Rustini mencari pekerjaan sambilan sebagai buruh serabutan. Apa pun yang menghasilkan uang, ia kerjakan. Kadang mencuci pakaian. Kadang menjadi tukang masak. Tapi ia tetap tak mampu menyekolahkan anak-anaknya.

Selesai membersihkan gerbong-gerbong kereta, Maryamah, Rustini, dan teman-temannya beranjak membersihkan diri. Lalu mereka menemui petugas di Stasiun Bogor untuk mengambil upah Rp 5.000 itu. Senyum kembali menghiasi bibir Maryanah, Rustini, dan perempuan kereta lain. Hari ini mereka bisa membeli seliter beras lagi. Mereka sungguh perempuan pejuang kehidupan sejati.

Author: Liza Desylanhi

Read More......

4/20/2007

Memelihara Semangat Kartini


Kamu tahu motto hidupku ? “Aku Mau”. Dan dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan. “Aku tidak mampu” menyerah.”Aku mau!” mendaki gunung itu. Aku tipe orang yang penuh harapan, penuh semangat!
(R.A. Kartini, dalam suratnya ke Stella Zeehandelaar, Jepara, 13 Januari 1900)


Hari ini telah sebegitu jauh berjarak dengan wanita yang luar biasa ini. Tapi nyala semangat dan perjuangannya tetap melekat erat di hati semua wanita Indonesia. Api yang tak padam dan tak surut. Malahan dapat dikatakan sungguh berhasil. Kita tak boleh habis mengenangkan cita-cita beliau.

Cita-cita yang begitu luhur itu. Mengangkat derajat wanita dan memperjuangkan keadilan gender. Namun di atas semua itu : memelihara mimpi dan cita-cita wanita Indonesia untuk terus melangkah dan hidup dalam kemajuan. Tak hanya untuk sejajar secara edukasi dengan kaum pria tapi juga dalam system social yang lebih luas. Dan kita memang seyogyanya tidak bisa meremehkan sosok wanita.
Dalam dunia pendakian gunung memang mengagumkan sepak terjang wanita. Siapa pula pendaki pertama dari Indonesia juga Asia Tenggara yang berhasil menapaki puncak langit Everest setinggi 8850m? Dia adalah seorang wanita berhati baja. Yah, seorang Clara Sumarwati.
Lalu menyusul berikutnya tim putri Indonesia yang berjumlah sepuluh orang tahun lalu. Dipimpin oleh Dwi Astuti Soenardi mereka adalah tim putri pertama dari Asia Tenggara yang menyentuh puncak tertinggi di dunia itu. Turut pula seorang Evi Neliwati yang mengharumkan nama bangsa di jagad panjat dinding dunia.
Kita yang terus belajar, Kita yang berbekal ilmu pengetahuan dan kesempatan. Tentunya sekalian wanita di Indonesia telah dapat melakukan banyak hal. Lebih jauh lagi. Karena jalan telah terbuka, meski belum sepenuhnya. Masih ada bayang-bayang yang merengek untuk kembali ke belakang. Segala perjuangan beliau dan generasi wanita setelahnya hendaklah kita resapi maknanya dan kita teruskan melalui tindakan nyata. Tak kurang dalam memperjuangkan keberlangsungan alam lingkungan bumi ini juga.

"Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi"(R.A. Kartini dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).


Ditulis Oleh Agung Subroto

Read More......

Republik Rakyat Tukul

"Kembali ke Laptop...!" kalimat ini bergema di Istana Negara Kamis sore itu (12/4). Kalimat itu bukan keluar dari mulut Tukul "Renaldi Cover Boy" Arwana seperti biasanya, tapi dari mulut orang nomor satu di negera ini, Presiden SBY.

Tukul bertemu dengan Presiden SBY? Tentu ini bukan suatu peristiwa yang mengagetkan. Karena pelawak Ndeso ini sedang naik daun, persis ulat bulu yang ulet merambati daun. Saat bertemu di Istana Negara itu, saat menyalami Tukul, SBY sempat berteriak,"Wah, ini dia," entah apa maksud Pak Presiden. Tak lupa Presidenpun mengajak Tukul berfoto bersama. Setelah puas berfoto-foto, Presiden sambil terus bergurau, berkomentar, "Kembali ke Laptop...!"

foto source

Sungguh lain suasana Istana Merdeka, yang biasanya penuh adegan protokoler yang resmi dan cenderung tegang itu, sore itu menjadi segar penuh gelak tawa meriah. Bukan hanya Pak Presiden beserta Ibu yang tertawa, namun juga dari para rekan wartawan Istana yang sempat mengeroyok Tukul. Tentu saja kali ini justru Tukul yang tidak berani berteriak, " tak sobek...sobek... lho..." lha wong di depan Presiden, ha..ha..ha..bisa dianggap subversif dia.

Tukulpun dihujani pertanyaan oleh para wartawan, walau pertanyaan para wartawan Istana kali ini tidak menyangkut korupsi di Bulog, besarnya dosa warisan di Garuda, pembiayaan APBN untuk bencana Lumpur Lapindo, tragedi STPDN, masalah Ujian Nasional, ruwetnya sistem transportasi nasional atau masalah reshuffle kabinet seperti biasanya. Namun suasana riuhnya tidak kalah dengan suasana selepas rapat kabinet.

"Puas, puas, puas.....!" suara khas Tukulpun mengema di Istana Negara, menjawab pertanyaan para wartawan."Ini memang wajah melankolis. Sedikit seperti wajah cover boy." kata Tukul terkekeh saat wartawan bertanya menggoda, "Kenapa wajahnya (Tukul) kok kelihatan pucat saat bertemu Presiden."

Komunikator Strategis
Setidaknya ini adalah pertemuan kali kedua, Tukul dengan Presiden, di Istana Negara. Dengan posisinya saat ini, Tukul selain sebagai penghibur dengan mengocok perut para pemirsanya di seantero nusantara. Sebenarnya juga bisa memainkan peranannya sebagai komunikator yang strategis. Baik antara rakyat dengan Presiden, maupun Presiden dengan rakyat, juga menanamkan kembali nilai-nilai positif pada masyarakat dengan cara canda ria dan ringan riang.

Misalnya membangkitkan budaya membaca di kalangan masyarakat. Menurut Tukul, "Buku merupakan jendela ilmu pengetahuan yang bisa membuka cakrawala seseorang dan lebih mampu mengembangkan daya kreativitas dan imajinasi kita." Wah, dahsyat bukan? Pesan ini dikemas dalam bahasa yang sangat sederhana dan mudah dicerna masyarakat.

Atau contoh lain, tentang etos kerja. "Semangat pantang mundur dan optimisme tinggi menjadi modal utama meraih kesuksesan," kata Tukul sambil mengakui, kesuksesan yang diraihnya bukan tanpa rintangan, bahkan ejekan dan cemoohan dari orang sering mewarnai kehidupan sehari-harinya. Di TV Tukul acapkali mengatakan "Yang penting kerja keras... lalu serahkan kepada Allah." Etos kerja ini akan menjadi modal yang sangat dahsyat bagi siapapun orang Indonesia yang menjalaninya. Dan Tukulpun menjadi contoh hidup.

Atau simak statementnya, "Lagu Wong Ndeso bercerita tentang kesuksesan orang desa berjuang hidup di kota besar. Walaupun sangat sukses, orang desa itu tetap menjadi dirinya sendiri, sama sekali tak berubah. Hal itulah yang terjadi pada saya. Kristalisasi keringat, Mas!" canda Tukul dengan mimiknya yang katro dan culun.

"Wong Ndeso" adalah album kompilasi yang segera dirilis Tukul, berisi sepuluh lagu. Dengan satu lagu andalan yang dinyanyikan Tukul, berirama campur sari dangdut ini diharapkan Tukul mengena di telinga pendengarnya.

Nilai yang sangat luhur tentang kerendahan hati dan semangat untuk berkerja keras, yang dalam istilah Tukul "Kristalisasi keringat" pun terdapat dalam album itu. Dalam bait lagu yang dinyanyikan Tukul di album Wong Ndeso ini, terdengar kata-kata yang mengelikan, "...memang tampang aku katro, tapi rezekinya kota...." .

Juga prinsip Tukul yang kukuh anti-poligami pun dapat dengan gamblang dijelaskannya dengan penuh canda "Iya..kan banyak orang yang kalau sukses lupa diri. Bahkan ada yang kawin lagi atau poligami. Saya justru nggak simpati dan kurang setuju dengan sikap orang seperti itu," kata Tukul lucu. "Saya nggak pernah berpikir ke arah situ (poligami). Wong waktu susah, jadi kutu kupret, sama-sama istri, ya... begitu senang, sama istri (yang sama) juga dong. Jangan cari istri baru lagi...ha...ha....ha...," kata Tukul diselingi tawa.

Dalam upaya mengapai hati terdalam dari semua pengemar Tukul di seantero nusantara, maka jargon "Kembali ke Laptop"pun disajikan dalam berbagai bahasa. Seperti back to laptop (Inggris), wangsul maleh wonten laptop (Jawa), molleh ka laptop (Madura), revenez au laptop (Perancis), vuelta al laptop (Spanyol), mulak tu laptop (Batak), balek keleptop oi...(Palembang), balik deui kana laptop (Sunda), mari jo torang bale' ke laptop (Manado), mewali malih ring laptop (Bali), ke laptop lagi nyok.. (Betawi) dan masih banyak lagi. Sesuatu yang nampak sederhana di mata para pejabat kita ini, justru merupakan kekuatan Tukul untuk berkomunikasi dengan segala lapisan masyarakat.

Kembali ke Rakyat
Kita bisa bayangkan dengan media televisi yang bisa dijangkau siapa saja penduduk Indonesia, secara free, tanpa harus berlangganan, selama masih memiliki pesawat televisi, antena dan aliran listrik. Tukul melalui Empat Mata yang stripping dari Senin sampai Jumat non-stop, dapat menjangkau jutaan rakyat Indonesia setiap malamnya, tidak perlu press release, tidak perlu press conference, juga tidak perlu juru bicara yang mahal-mahal.

Kalau jaman dahulu raja-raja di Jawa menggunakan media wayang kulit sebagai media hiburan dan komunikasi dengan rakyatnya, yang digelar semalam suntuk di alun-alun kota. Kini kita memiliki Tukul yang berada dalam posisi yang sangat strategis untuk menjadi media komunikasi antar masyarakat, baik elite maupun rakyat biasa.

Dengan latar belakangnya yang pernah menjadi sopir omprengan, sopir pribadi, tukang kabel, model video klip penyanyi cilik Joshua, bahkan pembuat sumur pompa. Tukul benar-benar dapat menghayati dan merasakan sendiri kesulitan dan perjuangan hidup orang kecil, yang merupakan potret sebagian terbesar rakyat Indonesia. Dimana kini jurang antara si miskin dan si kaya semakin besar dan dalam.

Bukankah dalam alam demokrasi ini Indonesia mestinya lebih pro ke rakyat? Bukankah Republik seharusnya kembali ke rakyat kecil kebanyakan? Jadi Tukul yang notabene bukan "wakil rakyat" tapi justru sangat mewakili rakyat ini bisa berfungsi sebagai komunikator yang strategis. Dengan tampil apa adanya tentunya. Bukankah kedaulatan berada ditangan rakyat?

Agar lebih 'mak nyuss, apa perlu kita sebut Republik Rakyat Tukul?.....sekali lagi.... dalam bahasa Betawi "kagak tau dah"...he...he...he...tidak tahu ah...., kite balik ke laptop lagi nyok...!! eh salah...kite balik ke rakyat lagi nyok...!!


Oleh: Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific

Read More......

4/19/2007

Wartawan & Mutu Jurnalistik Yang Rendah

oleh: Wisnu Hanggoro dan Irene Iriawati
Suara Merdeka, 14 Maret 2006

HASIL penelitian terakhir Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang kesejahteraan wartawan menuntut perhatian masyarakat terhadap profesi wartawan.Penelitian di 17 kota pada akhir 2005, yang melibatkan responden 400 wartawan dari 80 media massa itu mengungkap penghasilan rata-rata wartawan antara Rp 900 ribu dan Rp 1,4 juta per bulan. Yang menyedihkan masih dijumpainya wartawan yang gajinya di bawah Rp 200 ribu per bulan.

Temuan tersebut memperkuat hasil penelitian AJI-Pusat dan AJI-Surabaya enam tahun sebelumnya (1999) yang mengungkap sangat rendahnya gaji wartawan. Saat itu, dari 250 responden di Jakarta diperoleh data
5% wartawan ber-gaji di bawah Rp 250 ribu,
35% bergaji antara Rp 500 ribu-Rp 1 juta,
30% bergaji Rp 1 juta-Rp 2 juta,
dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta.
Dalam pada itu, dari 276 responden yang tersebar di 12 kabupaten dan kotamadia di Jawa Timur diperoleh data
0,7% bergaji di bawah Rp 100 ribu,
15,2% bergaji Rp 100 ribu-Rp 250 ribu,
34,1% bergaji Rp 250 ribu-Rp 500 ribu,
21% bergaji Rp 500 ribu-Rp 750 ribu.
Kemudian 14% bergaji Rp 750 ribu-Rp 1 juta,
dan 13,8% bergaji di atas Rp 1 juta.

Kalau dibandingkan dengan temuan enam tahun silam itu, kesejahteraan wartawan di negeri ini bukannya semakin meningkat melainkan justru semakin menurun. Ini karena biaya dan beban hidup yang harus dipikul masyarakat Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat tajam.

Hasil penelitian tersebut pada dasarnya juga semakin memperjelas kenyataan bahwa menjadi wartawan berarti memasuki kawasan kerja yang bebannya berlipat-lipat. Dalam literatur psikologi terapan, pekerjaan wartawan, di samping pekerjaan sopir, pelawak, ataupun tentara,
termasuk dalam kategori rentan penyakit dan memiliki harapan hidup rendah. Ini karena pekerjaan wartawan memiliki tingkat stres yang cukup tinggi sebagai akibat tuntutan target pembuatan berita yang deadline-nya tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Risiko Kekerasan
Laporan Reporters Sans Frontiers (RSF, Reporter Lintas Batas) di Paris (04/01/06) merupakan bukti konkrit tentang risiko pekerjaan wartawan. Dalam laporan itu dinyatakan selama tahun 2005 ada sekitar 1.300 wartawan di berbagai belahan dunia yang menghadapi ancaman dan penyerangan dari orang-orang yang terusik oleh hasil kerja mereka.

Sejalan dengan laporan RSF, tulisan Katharine Q Seelye di The New York Times (14/02/06) mempertegas besarnya risiko yang harus dihadapi wartawan, khususnya saat melakukan liputan konflik atau peperangan. Dalam tulisan itu Seelye, mengacu laporan The Committee to Protect Journalists (CPJ), menyebutkan selama 2005 telah ditemukan 22 orang wartawan terbunuh di medan pe-rang Irak. Jumlah ini telah menambah total korban wartawan terbunuh selama invasi AS di Irak antara 2003-2005 menjadi sebanyak 61 orang. Jumlah itu melampaui yang terjadi di Aljazair selama konflik 1993-1996 yang menelan korban 58 orang wartawan terbunuh saat menjalankan tugasnya.

Di Indonesia, kasus terbunuhnya Udin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta di masa Orde Baru merupakan salah satu contoh risiko terberat yang dihadapi wartawan di negerinya sendiri. Sampai saat ini kasus tersebut tetap gelap.

Pada Agustus 2005 kasus yang hampir serupa dengan Udin juga menimpa wartawan ''Berita Sore" Medan, Elyudin Telaumbanua yang tengah melakukan liputan pilkada di Kabupaten Nias Selatan. Para saksi mata menyebutkan, Elyudin diculik oleh gerombolan tak dikenal. Selama lebih dari dua bulan sejak itu keberadaannya tidak diketahui lagi hingga pada 14 Oktober 2005 Dewan Pers melayangkan surat pernyataan atas kasus tersebut.
Anehnya, berita seputar hilangnya Elyudin ini seperti menguap begitu saja.

Kasus yang cukup banyak terjadi di negeri ini adalah penganiayaan terhadap wartawan. Hanya saja, data terhadap kasus-kasus tersebut tersebar tanpa ada pihak yang melakukan inventarisasi ataupun dokumentasi. Pada tahun 2001 AJI pusat sebenarnya telah merintis langkah semacam itu dengan menyajikan laporan tahunan yang di dalamnya antara lain menyebutkan selama 2000-2001 telah terjadi 83 kasus penganiayaan terhadap wartawan.
Sayang, laporan semacam itu tidak bisa dilakukan secara rutin.

Tentu kondisi semacam itu tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan AJI semata, sebab dari sekitar 44 organisasi kewartawanan yang bermunculan di negeri ini tak satupun yang memiliki database yang mendokumentasikan kasus-kasus semacam itu. Celakanya, apabila kita membuka website Dewan Pers, sebuah institusi yang dibentuk atas amanat UU No 40/1999 tentang Pers, juga tidak kita temukan data yang mendokumentasikan deretan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Akibat ketidaktersediaan data secara lengkap itu, masyarakat hanya mengetahui sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan di berbagai kawasan di negeri ini sebagai kasus-kasus yang terpisah satu dengan lainnya. Tidak ada yang mencoba menarik benang merah antara kasus satu dan lainnya yang memungkinkan penanganan secara konstruktif.

Sebagai contoh, kasus penganiayaan wartawan oleh oknum aparat keamanan yang mulai bermunculan belakangan ini sebagaimana dialami kameraman Indosiar, Wensy Pantou
oleh sejumlah oknum di Manado Januari 2006.

Kasus semacam itu hanyalah sebagian kecil yang muncul ke permukaan. Di lapangan, sangat banyak wartawan yang menghadapi kekerasan berupa ancaman agar tidak memberitakan hal-hal tertentu yang menyangkut kejahatan publik tokoh-tokoh tertentu. Menghadapi jenis kekerasan semacam ini biasanya wartawan memilih diam tanpa berani melapor ke pihak berwajib.

Perlu Perlindungan
Menyaksikan sederet kasus kekerasan tersebut, sudah waktunya dibangun satu sistem yang memungkinkan wartawan bisa menjalankan profesinya secara maksimal. Risiko yang dihadapi wartawan adalah risiko bagi keluarganya dan sekaligus bagi masyarakat luas.
Hilangnya seorang wartawan yang tengah mengabdi pada tugasnya mengandung arti hilangnya kesempatan bagi masyarakat untuk melihat dunia dengan benar.

Berkat kerja wartawan, tanpa disadari pengetahuan umat manusia terus bertambah.

Harus diakui, dalam kondisi riil di lapangan, masih banyak wartawan yang belum memenuhi standar profesi. Oleh karena itu menjadi kewajiban tiap-tiap lembaga media atau organisasi-organisa si kewartawanan untuk memberikan pelatihan memadai agar para wartawan yang menjadi anggotanya terus berkembang sesuai dengan tuntutan profesi mereka.

Namun, yang terpenting dan terasa mendesak, tentu saja yang terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan terhadap wartawan. Sudah saatnya dibuat standar gaji yang layak bagi profesi wartawan. Lembaga media yang tidak mampu menggaji wartawannya secara layak mestinya tidak perlu ada. Lembaga-lembaga semacam itu tidak saja mengeksploitasi karyawannya dengan sekadar memberi "gelar wartawan," tetapi juga mengelabuhi masyarakat dengan kualitas jurnalisme yang rendah.

Wisnu Hanggoro & Irene Iriawati, keduanya pendiri dan aktivis Lembaga Studi Pers & Informasi - LeSPI, Semarang

Read More......

4/11/2007

Sekolah Serikat Pekerja Media

Kepada Yth.
Ketua Serikat Pekerja/Dewan Karyawan
di Jakarta
Hal : Undangan Sekolah Serikat Pekerja Media


Agar pekerja media (jurnalis, bagian percetakan, iklan, sirkulasi, keuangan, dll) memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan manajemen, mau tak mau, kita harus menghimpun kekuatan dan solidaritas. Dan, berjuang melalui serikat pekerja adalah salah satu pilihannya.
Untuk memperkuat organisasi serta pengetahuan tentang serikat pekerja, AJI Jakarta menyelenggarakan Sekolah Serikat Pekerja Media. Sekolah ini akan membekali para peserta tentang tata cara pendirian serikat pekerja, manajemen serikat pekerja, teknik berunding, teknik menyusun Perjanjian Kerja Bersama (PKB), teknik beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), membaca laporan keuangan perusahaan, dan lain-lain

Kami menawarkan kesempatan ini kepada kawan-kawan yang ingin mendirikan serikat pekerja, pengurus, dan aktivis serikat pekerja media untuk bergabung dalam sekolah ini. Bagi kawan yang bersedia, mohon melakukan konfirmasi via email ke ajijak@cbn.net.id , atau telepon ke nomor 021-83702660 atau 021-71100685, atau sms ke 0812524578 (Aditya Heru Wardhana), 0815 5517 333 (Wiwin).
Sekolah ini akan diselenggarakan di kantor AJI Jakarta, Jl. Prof. Dr. Soepomo Kompleks BIER No 1 A, Jakarta, setiap bulan pada minggu pertama.
Demikianlah undangan terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatian dan keikutsertaannya, kami ucapkan terima kasih.

Persatuan bagi pekerja media!

Jakarta , 28 Maret 2007

Jajang Jamaludin ---- Winuranto Adhi
Ketua AJI Jakarta --- Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta


==============================================
TERMS OF REFERENCES
"SEKOLAH SERIKAT PEKERJA MEDIA"
AJI JAKARTA


PENDAHULUAN
Jurnalis adalah profesi yang unik. Pada sisi profesionalisme, jurnalis dituntut melayani publik menyajikan berita-berita yang akurat, obyektif dan berpihak pada kebenaran. Kode etik jurnalistik menjadi panduan dalam menjalankan tugas pemberitaan. Jurnalis juga dituntut bersikap independen, serta senantiasa teliti mencermati perkembangan masyarakat.

Sedangkan di sisi lain, jurnalis bekerja pada satu perusahaan media. Jurnalis adalah buruh ketika berhadapan dengan kepentingan perusahaan yang bertujuan memaksimalkan keuntungan. Tak bisa dimungkiri, sebagai pekerja jurnalis membutuhkan kesejahteraan dan jaminan sosial bagi dirinya sendiri beserta keluarganya.
Di sinilah peran penting serikat pekerja media dalam memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja media. Tidak mungkin para pekerja media bergerak sendiri-sendiri mengejar kesejahteraan. Kekuatan kelas pekerja terletak pada solidaritas persatuan yang diwadahi dalam serikat.

Namun, sayangnya, kesadaran pekerja media untuk berserikat masih minim. Belum banyak serikat media yang tumbuh dan berkembang, diakui serta mampu menjalankan misi pembelaan kepada anggotanya. Selama ini organisasi yang sudah berdiri di perusahaan media bermacam bentuk dan karakternya. Ada yang masih bertaraf paguyuban atau perkumpulan. Tapi, ya itu tadi, sangat sedikit yang sudah berkarakter serikat pekerja.

Keahlian dan keterampilan para pengurus dalam menjalankan roda organisasi juga masih kurang. Pemahaman atas hak dan hukum ketenagakerjaan belum merata di setiap para pekerja media. Padahal kasus-kasus ketenagakerjaan senantiasa menghantui para pekerja media. Ancaman PHK sewenang-wenang, upah yang tidak layak, tidak adanya jaminan kesejahteraan dan jaminan sosial serta kekuatan bargaining serikat dengan perusahaan yang masih njomplang, adalah masalah membelukar yang harus segera diurai.
Karenanya peningkatan kesadaran dan keterampilan mengelola serikat pekerja media sangat mendesak dilakukan. Untuk itu, Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyelenggarakan "Sekolah Serikat Pekerja Media" sebagai wahana belajar, bertukar ilmu dan pengalaman seputar dunia serikat pekerja dan perburuhan.

TUJUAN

1.Meningkatkan kemampuan para pengurus serikat pekerja dalam mengelola organisasi.
2.Menyebarkan kesadaran pentingnya berserikat kepada setiap pekerja media.
3.Meningkatkan pengetahuan mengenai hukum-hukum ketenagakerjaan dan dinamika perburuhan.
4.Mendorong terbentuknya serikat pekerja di setiap perusahaan media.

NAMA KEGIATAN
"SEKOLAH SERIKAT PEKERJA MEDIA" AJI JAKARTA

WAKTU DAN TEMPAT
Kegiatan berlangsung sekali dalam sebulan selama 2-3 jam pada tiap sesi, setiap Sabtu, minggu pertama, mulai pukul 10.00 WIB. Tempat sekolah adalah di sekretariat AJI Jakarta Jl. Prof Dr Soepomo Kompleks BIER No.1 Menteng Dalam, Jakarta Selatan, Telp. 021-83702660 atau 021-021-71100685.

PESERTA
Peserta sekolah adalah sekitar 15-20 orang setiap sesi, yang terdiri dari pegiat serikat pekerja pers, pekerja media (bagian keuangan, sirkulasi, percetakan, iklan, dll) serta tidak menutup kemungkinan aktivis serikat pekerja dari sektor lain. Peserta sekolah ini tidak dipungut biaya alias gratis.

METODE
Sekolah ini memakai metode ceramah, simulasi, bedah kasus, diskusi kelompok, sharing pengalaman serta penugasan.

Read More......

4/05/2007

Penandatanganan PKB















foto/Bagaskara/SMARTFM-Jkt
~
Dengan memanjatkan SYUKUR kepada YME......
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) telah ditanda-tangani tanggal 05 April 2007
oleh Bp.Fahry mewakili management SMART FM Jkt
& Jay Waluyo (pengurus PKS) mewakili Karyawan SMART FM Jkt.
Pada acara yang disaksikan langsung oleh semua crew SMART FM ini juga turut dibagikan JOB DESC & rincian saldo JAMSOSTEK......
ada lagi yang lainnya ?? .....?? ditunggu terus nih....

Read More......
Copyrights @ 2006 Perkumpulan Karyawan SmartFM - Jakarta, Indonesia
http://crew-smartfm.blogspot.com

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP